24/02/12

perumusan permasalahan

Perumusan permasalahan—1
PERUMUSAN
PERMASALAHAN
Daftar Acuan:
Buckley, J. W.; M. H. Buckley; dan Hung-Fu Chiang. 1976. Research Methodology & Business
Decisions. National Association of Accountant, New York
Castetter, W. B.; dan R. S. Heisler. 1984. Developing and Defending A Disertation Proposal. Graduate
School of Education, University of Pennsylvania, Philadelphia, Pennsylvania.
Leedy, Paul D. 1997. Practical Research: Planning and Design. Sixth Edition. Prectice Hall, Upper
Saddle River, New Jersey. Chapter 5: “Planning Your Research Design”, hal. 93-121.
Sumiarto. 1985. Evaluasi Program Perintisan Pemugaran Perumahan Desa di Daerah Istimewa
Yogyakarta,. Tesis Pasca Sarjana Strata II, Program Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas
Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Sutrisno, Hadi. 1986. Pokok – pokok Metodologi Penelitian. Makalah yang tidak dipublikasikan,
tertanggal 14 Desember 1986, ditulis di Yogyakarta.
Digabung, diterjemahkan, disingkat dan dimodifikasi untuk kepentingan kuliah Metodologi Penelitian di
tingkat program pascasarjana oleh:
Achmad Djunaedi (2000).
Daftar Isi Bab ini: Halaman:
Penemuan permasalahan 2
Cara-cara formal penemuan permasalahan 3
Cara-cara informal penemuan permasalahan 4
Pengecekan hasil penemuan permasalahan 5
Perumusan permasalahan 6
Bentuk rumusan permasalahan 7
Karakteristik rincian permasalahan 8
Contoh rumusan permasalahan 8
Keterkaitan antara rumusan permasalahan dengan
hipotesis dan temuan penelitian 9
etelah peneliti menentukan bidang penelitian (problem area) yang diminatinya, kegiatan
berikutnya adalah menemukan permasalahan (problem finding atau problem generation).
Penemuan permasalahan merupakan salah satu tahap penting dalam penelitian. Situasinya
jelas: bila permasalahan tidak ditemukan, maka penelitian tidak perlu dilakukan. Pentingnya
penemuan permasalahan juga dinyatakkan oleh ungkapan: “Berhasilnya perumusan
permasalahan merupakan setengah dari pekerjaan penelitian”. Penemuan permasalahan juga
S
2— Perumusan permasalahan
merupakan tes bagi suatu bidang ilmu; seperti diungkapkan oleh Mario Bunge (dalam :
Buckley dkk., 1976, 14) dengan pernyataan: “Kriteria terbaik untuk menjajagi apakah
suatu disiplin ilmu masih hidup atau tidak adalah dengan memastikan apakah bidang ilmu
tersebut masih mampu menghasilkan permasalahan . . . . Tidak satupun permasalahan akan
tercetus dari bidang ilmu yang sudah mati”.
Permasalahan yang ditemukan, selanjutnya perlu dirumuskan ke dalam suatu
pernyataan (problem statement). Dengan demikian, pembahasan isi bab ini akan dibagi
menjadi dua bagian: (1) penemuan permasalahan, dan (2) perumusan permasalahan.
Penemuan Permasalahan
Kegiatan untuk menemukan permasalahan biasanya didukung oleh survai ke
perpustakaan untuk menjajagi perkembangan pengetahuan dalam bidang yang akan diteliti,
terutama yang diduga mengandung permasalahan. Perlu dimengerti, dalam hal ini, bahwa
publikasi berbentuk buku bukanlah informasi yang terbaru karena penerbitan buku
merupakan proses yang memakan waktu cukup lama, sehingga buku yang terbit—misalnya
hari ini—ditulis sekitar satu atau dua tahun yang lalu. Perkembangan pengetahuan terakhir
biasanya dipublikasikan sebagai artikel dalam majalah ilmiah; sehingga suatu (usulan)
penelitian sebaiknya banyak mengandung bahasan tentang artikel-artikel (terbaru) dari
majalah-majalah (jurnal) ilmiah bidang yang diteliti.
Kegiatan penemuan permasalahan, seperti telah disinggung di atas, didukung oleh
survai ke perpustakaan untuk mengenali perkembangan bidang yang diteliti. Pengenalan ini
akan menjadi bahan utama deskripsi “latar belakang permasalahan” dalam usulan penelitian.
Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan harapan,
antara tren perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara kenyataan dengan ide.
Sutrisno Hadi (1986, 3) mengidentifikasikan permasalahan sebagai perwujudan “ketiadaan,
kelangkaan, ketimpangan, ketertinggalan, kejanggalan, ketidakserasian, kemerosotan dan
semacamnya”.
Seorang peneliti yang berpengalaman akan mudah menemukan permasalahan dari
bidang yang ditekuninya; dan seringkali peneliti tersebut menemukan permasalahan secara
“naluriah”; tidak dapat menjelaskan bagaimana cara menemukannya. Cara-cara
menemukan permasalahan ini, telah diamati oleh Buckley dkk. (1976) yang menjelaskan
bahwa penemuan permasalahan dapat dilakukan secara “formal’ maupun ‘informal’. Cara
formal melibatkkan prosedur yang menuruti metodologi tertentu, sedangkan cara informal
bersifat subjektif dan tidak “rutin”. Dengan demikian, cara formal lebih baik kualitasnya
dibanding cara informal. Rincia n cara-cara yang diusulkan Buckley dkk. dalam kelompol
formal dan informal terlihat pada gambar di bawah ini.
Perumusan permasalahan—3
Gambar Perm-1: Beberapa cara penemuan permasalahan
(Sumber: Buckley dkk.(1976: 5)
Bukley dkk., (1976:16-27) menjelaskan cara-cara penemuan permasalahan—baik formal
maupun informal—sebagai diuraikan di bagian berikut ini. Setelah permasalahan ditemukan,
kemudian perlu dilakukan pengecekan atau evaluasi terhadap permasalahan tersebut—
sebelum dilakukan perumusan permasalahan.
Cara-cara Formal Penemuan Permasalahan
Cara-cara formal (menurut metodologi penelitian) dalam rangka menemukan
permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Rekomendasi suatu riset. Biasanya, suatu laporan penelitian pada bab terakhir
memuat kesimpulan dan saran. Saran (rekomendasi) umumnya menunjukan
kemungkinan penelitian lanjutan atau penelitian lain yang berkaitan dengan kesimpulan
yang dihasilkan. Saran ini dapat dikaji sebagai arah untuk menemukan permasalahan.
2) Analogi adalah suatu cara penemuan permasalahan dengan cara “mengambil”
pengetahuan dari bidang ilmu lain dan menerapkannya ke bidang yang diteliti. Dalam
hal ini, dipersyaratkan bahwa kedua bidang tersebut haruslah sesuai dalam tiap hal-hal
yang penting. Contoh permasalahan yang ditemukan dengan cara analogi ini, misalnya:
“apakah Proses perancangan perangkat lunak komputer dapat diterapkan pada
proses perancangan arsitektural” (seperti diketahui perencanaan perusahaan dan
Formal
Rekomendasi suatu riset
Analogi
Renovasi
Dialektik
Ekstrapolasi
Morfologi
Dekomposisi
Agregasi
Informal
Konjektur
Fenomenologi
Konsensus
Pengalaman
Pernyataan permasalahan
PENEMUAN PERMASALAHAN PERUMUSAN
PERMASALAHAN
4— Perumusan permasalahan
perencanaan arsitektural mempunyai kesamaan dalam hal sifat pembuatan
keputusannya yang Judgmental).
3) Renovasi. Cara renovasi dapat dipakai untuk mengganti komponen yang tidak
cocok lagi dari suatu teori. Tujuan cara ini adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kemantapan suatu teori. Misal suatu teori menyatakan “ada korelasi
yang signifikan antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam
perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya” dapat direnovasi
menjadi permasalahan “seberapa korelasi antara arah pengembangan bangunan
rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal
penghuninya dengan tingkat pendidikan penghuni yang berbeda”. Dalam contoh di
atas, kondisi yang “umum” diganti dengan kondisi tingkat pendidikan yang berbeda.
4) Dialektik, dalam hal ini, berarti tandingan atau sanggahan. Dengan cara dialektik,
peneliti dapat mengusulkan untuk menghasilkan suatu teori yang merupakan tandingan
atau sanggahan terhadap teori yang sudah ada.
5) Ekstrapolasi adalah cara untuk menemukan permasalahan dengan membuat tren
(trend) suatu teori atau tren permasalahan yang dihadapi.
6) Morfologi adalah suatu cara untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan kombinasi
yang terkandung dalam suatu permasalahan yang rumit, kompleks.
7) Dekomposisi merupakan cara penjabaran (pemerincian) suatu pemasalahan ke
dalam komponen-komponennya.
8) Agregasi merupakan kebalikan dari dekomposisi. Dengan cara agregasi, peneliti
dapat mengambil hasil-hasil peneliti atau teori dari beberapa bidang (beberapa
penelitian) dan “mengumpulkannya” untuk membentuk suatu permasalah yang lebih
rumit, kompleks.
Cara-cara Informal Penemuan Permasalahan
Cara-cara informal (subyektif) dalam rangka menemukan permasalahan dapat
dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Konjektur (naluriah). Seringkali permasalahan dapat ditemukan secara konjektur
(naluriah), tanpa dasar-dasar yang jelas. Bila kemudian, dasar-dasar atau latar
belakang permasalahan dapat dijelaskan, maka penelitian dapat diteruskan secara
alamiah. Perlu dimengerti bahwa naluri merupakan fakta apresiasi individu terhadap
lingkungannya. Naluri, menurut Buckley, dkk., (1976, 19), merupakan alat yang
berguna dalam proses penemuan permasalahan.
2) Fenomenologi. Banyak permasalahan baru dapat ditemukan berkaitan dengan
fenomena (kejadian, perkembangan) yang dapat diamati. Misal: fenomena pemakaian
komputer sebagai alat bantu analisis dapat dikaitkan untuk mencetuskan
Perumusan permasalahan—5
permasalahan – misal: seperti apakah pola dasar pendaya – gunaan komputer dalam
proses perancangan arsitektural.
3) Konsensus juga merupakan sumber untuk mencetuskan permasalahan. Misal,
terdapat konsensus bahwa kemiskinan bukan lagi masalah bagi Indonesia, tapi
kualitas lingkungan yang merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (misal hal ini
merupakan konsensus nasional).
4) Pengalaman. Tak perlu diragukan lagi, pengalaman merupakan sumber bagi
permasalahan. Pengalaman kegagalan akan mendorong dicetuskannya permasalahan
untuk menemukan penyebab kegagalan tersebut. Pengalaman keberhasilan juga akan
mendorong studi perumusan sebab-sebab keberhasilan. Umpan balik dari klien, misal,
akan mendorong penelitian untuk merumuskan komunikasi arsitek dengan klien yang
lebih baik.
Pengecekan Hasil Penemuan Permasalahan
Permasalahan yang telah ditemukan selalu perlu dicek apakah permasalahan
tersebut dapat (patut) untuk diteliti (researchable). Pengecekan ini, biasanya, didasarkan
pada tiga hal: (i) faedah, (ii) lingkup, dan (iii) kedalaman.
Pengecekan faedah ditelitinya suatu permasalahan dikaitkan dengan pengembangan
ilmu pengetahuan dan atau penerapan pada praktek (pembangunan). Ditanyakan: apakah
penelitian atas permasalahan tersebut akan berfaedah untuk ilmu pengetahuan, misal dapat
merevisi, memperluas, memperdalam pengetahuan yang ada, atau menciptakan pengetahuan
baru. Dicek pula: apakah penelitian tersebut mempunyai aplikasi teoritikal dan atau
praktikkal. Suatu penelitian agar dapat diterima oleh pemberi dana atau pemberi “nilai’
perlu mempunyai faedah yang jelas (penjelasan faedah diharapkan bukan hanya bersifat
“klise”).
Peneliti yang belum berpengalaman sering mencetuskan permasalahan yang
berlingkup terlalu luas, yang memerlukan masa penelitian yang sangat lama (di luar
jangkauan). Misal: penelitian untuk “menemukan cara terbaik pelaksanaan pembangunan
rumah tinggal” akan memerlukan waktu yang “tak terhingga” karena harus membandingkan
semua kemungkinan cara pelaksanaan pembangunan rumah tinggal. Lingkup penelitian,
biasanya, cukup sempit, tapi diteliti secara mendalam.
Faktor kedalaman penelitian juga merupakan salah satu yang perlu dicek.
Penelitian, bukan sekedar mengumpulkan data, menyusunnya dan memprosesnya untuk
mendapatkan hasil, tetapi diperlukan pula adanya interpretasi (pembahasan) atas hasil.
Penelititan perlu dapat menjawab: apa “arti” semua fakta yang terkumpul. Dengan
pengertian ini, suatu pengukuran kemiringan menara pemancar teve belum dianggap
mempunyai kedalaman yang cukup (hanya merupakan pengumpulan data dan pelaporan
hasil pengukuran). Tetapi, penelitian tentang “pengaruh kemiringan menara pemancar teve
6— Perumusan permasalahan
terhadap kualitas siaran” merupakan penelitian karena memerlukan interpretasi terhadap
persepsi pirsawan atas kualitas siaran yang dipengaruhi oleh kemiringan.
Indikasi permasalahan yang belum merupakan permasalahan penelitian ditunjukkan
oleh Leedy (1997: 46-48), yaitu:
1) yang bersifat hanya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk mengerti lebih
banyak tentang suatu topik;
2) yang jawabnya ya atau tidak;
3) pembandingan dua set data tanpa intepretasi;
4) pengukuran koefisien korelasi antara dua set data.
Perumusan Permasalahan
Sering dijumpai usulan penelitian yang memuat “latar belakang permasalahan”
secara panjang lebar tetapi tidak diakhiri (atau disusul) oleh rumusan (pernyataan)
permasalahan. Pernyataan permasalahan sebenarnya merupakan kesimpulan dari uraian
“latar belakang” tersebut. Castetter dan Heisler (1984, 11) menerangkan bahwa
pernyataan permasalahan merupakan ungkapan yang jelas tentang hal-hal yang akan
dilakukan peneliti. Cara terbaik unutk mengungkapkan pernyataan tersebut adalah dengan
pernyataan yang sederhana dan langsung, tidak berbelit-belit. Pernyataan permasalahan dari
suatu penelitian merupakan “jantung” penelitian dan berfungsi sebagai pengarah bagi semua
upaya dalam kegiatan penelitian tersebut. Pernyataan permasalahan yang jelas (tajam) akan
sanggup memberi arah (gambaran) tentang macam data yang diperlukan, cara
pengolahannya yang cocok, dan memberi batas lingkup tertentu pada temuan yang
dihasilkan.
Contoh ungkapan permasalahan yang jelas, tajam, diberikan oleh Sumiarto (1985)
yang meneliti dalam bidang perumahan pedesaan. Permasalahan yang dikemukakannya,
sebagai berikut:
“Kesimpulan yang dapat ditarik sebagai permasalahan P3D [Perintisan
Pemugaran Perumahan Desa] yang dapat memberikan arah pada studi yang
akan dilakukan adalah mempertanyakan keberhasilan dari tujuan P3D.
Secara lebih spesifik dapat dikemukakan beberapa (sub) permasalahan
sebagai berikut:
(a). Apakah setelah menerima bantuan P3D, kondisi mereka akan menjadi
lebih baik, dalam arti adanya peningkatan dalam cara bermukin yang
lebih baik serta lebih sehat?
(b). Apakah bantuan yang diberikan oleh P3D telah memberikan hasil sesuai
seperti yang diharapkan, yaitu penerima bantuan telah memberikan
Perumusan permasalahan—7
respon yang positif yang berupa tenaga, material, bahkan finansial,
sehingga lebih dari apa yang diberikan oleh P3D.
(c). Lebih jauh lagi, apakah P3D telah mampu membangkitkan efek berlifat
ganda (multiplier effect), sehingga masyarakat yang tidak meneriman
bantuan P3D terangsang secara swadata menyelenggarakan sendiri
peningkatan kondisi rumah dan lingkungannya?”
(Sumiarto 1985, 17-18)
Bentuk Rumusan Permasalahan
Contoh pernyataan permasalahan di atas mengambil bentuk satu pernyataan disusul
oleh beberapa pertanyaan. Castette dan Heisler (1984, 11) menjelaskan bahwa secara
keseluruhan ada 5 macam bentuk pernyataan permasalahan, yaitu:
(1) bentuk satu pertanyaan (question);
(2) bentuk satu pertanyaan umum disusul oleh beberapa pertanyaan yang spesifik;
(3) bentuk satu penyataan (statement) disusul oleh beberapa pertanyaan (question).
(4) bentuk hipotesis; dan
(5) bentuk pernyataan umum disusul oleh beberapa hipotesis.
Bentuk Hipotesis nampaknya jarang dipakai lagi pula, biasanya perletakan hipotesis dalam
laporan atau usulan penelitian tidak menempati posisi yang biasa ditempati oleh pernyataan
permasalahan. Hal yang lain, bentuk pertanyaan seringkali dapat diujudkan (diubah) pula
sebagai bentuk pernyataan. Dengan demikian, secara umum, hanya ada dua bentuk
pernyataan permasalahan:
(1) Bentuk satu pertanyaan atau pernyataan
Misal:
(a) Pertanyaan:
“Seberapa pengaruh tingkat penghasilan pada perubahan fisik rumah
perumahan KPR?”
“Faktor-faktor apa saja dan seberapa besar pengaruh masing-masing faktor
pada persepsi penghuni terhadap desain rumah sub–inti?”
(b) Pernyataan (biasanya diungkapkan sebagai “maksud”)
“Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa pengaruh tingkat
penghasilan pada perubahan fisik rumah perumahan KPR.”
“Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja dan
seberapa besar pengaruh masing-masing faktor pad persepsi terhadap desain
rumah sub–inti.”
8— Perumusan permasalahan
(2) Bentuk satu pertanyaan atau pernyataan umum disusul oleh beberapa pertanyaan atau
pernyataan yang spesifik (Catatan: kebanyakan permasalahan terlalu besar atau
kompleks sehingga perlu dirinci)
Misal:
Permasalahan umum: Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi hasil desain seorang
arsitek dan seberapa pengaruh tiap-tiap faktor? Lebih spesifik lagi, permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
(a) Apakah sekian faktor yang mempengaruhi hasil desain seorang arsitek secara
umum di Amerika Serikat terjadi pula di Indonesia?
(b) Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi hasil desain
arstiek di Indonesia?
Karakteristik Rincian Permasalahan
Karakteristik tiap rincian permasalahan atau sub-problema (menurut Leedy, 1997:
56-57) sebagai berikut:
1) Setiap rincian permasalahan haruslah merupakan satuan yang dapat diteliti (a
researchable unit ).
2) Setiap rincian terkait dengan interpretasi data.
3) Semua rincian permasalahan perlu terintegrasi menjadi satu kesatuan permasalahan
yang lebih besar (sistemik).
4) Rincian yang penting saja yang diteliti (tidak perlu semua rincian permasalahan diteliti)
5) Hindari rincian permasalahan yang pengatasannya tidak realistik.
Contoh Rumusan Permasalahan
Di bawah ini diberikan beberapa contoh rumusan masalah, sebagai berikut:
“. . . . . . . permasalahan sebagai berikut: Apakah kalsium hidroksida
mempunyai pengaruh sitotoksik terhadap sel fibroblast embrio Gallus
domesticus secara in Vitro, dan apakah besar konsentrasi kalsium
hidroksida berpengaruh terhadap sifat sitotoksisitasnya?”
Sumber: Sri Hadiati Prayitno dan Wahjono Sosromidjojo, 1988, “Tes
Sitotoksitas Bahan Kalsium Hidrosida dengan menggunakan Kultur sel
Fibroblast Embrio Ayam Kampung (Gallus Domesticus) in vitro”, Berkala
Penelitian Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Jilid I, Nomor 1,
halaman 34.
“. . . . . . . . . dengan penelitian ini ingin diketahui faktor – faktor apa yang
dapat mempengaruhi perilaku ibu – ibu dalam menangani diare pada bayi dan
anak balita.
Perumusan permasalahan—9
Sumber: Sitti Aisyah Salam dan Akhwak Watik Pratiknya, 1988,”Faktorfaktor
yang mempengaruhi Perilaku ibu dalam menangani Penyakit Diare
anak Balita di Kecamatan Wirobraian”, Berkala penelitian Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada, Jilid 1, Nomor 1, halaman 2.
Keterkaitan antara Rumusan Permasalahan dengan Hipotesis
dan Temuan Penelitian
Bila penelitian telah selesai dilakukan, maka dalam laporan penelitian perlu
ditunjukkan “benang merah” (keterkaitan yang jelas) antara rumusan permasalahan dengan
hipotesis (sebagai “jawaban” sementara terhadap permasalahan penelitian). Rincian dalam
permasalahan perlu berkaitan lengasung dengan rincian dalam hipotesis, dalam arti, suatu
rincian dalam hipotesis menjawab suatu rincian dalam permasalahan. Demikian pula, perlu
diperlihatkan keterkaitan tiap rincian dalam temuan (sebagai jawaban nyata terhadap
permasalahan) dengan tiap rincian dalam rumusan permasalahan.
Baik permasalahan, hipotesis dan temuan—sebagai upaya pengembangan atau
pengujian teori—berkaitan secara substantif dengan tinjauan pustaka (sebagai kajian
terhadap isi khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian).
Kaitan substantif diartikan sebagai hubungan “isi”, tidak perlu dalam bentuk keterkaitan
antar rincian.

22/02/12

KESINAMBUNGAN PELAYANAN KESEHATAN MELALUI PENDEKATAN KEPERAWATAN KELUARGA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu determinan dalam mencapai masyarakat yang sehat, meskipun disadari bahwa peran lingkungan dan faktor perilaku merupakan determinan yang lebih besar pengaruhnya pada kesehatan (Blum).  Dua determinan tersebut terakhir ini merupakan determinan yang banyak di[engaruhi oleh domain di luar kesehatan sehingga intervensinya memerlukan peran lintas sektor terkait.
Pelayanan kesehatan selalu menjadi isu yang penting di berbagai Negara karena hal itu menyangkut berbagai nilai dasar dalam masyarakat seperti “kesehatan sebagai hak ’mendasar’ bagi individu (health is one of basic human right). Dengan demikian isu mengenai pemerataan dan akses terhadap pelayanan kesehatan formal merupakan hal yang sangat penting dan azasi. Moto yang dikumandangkan adalah “ health is not everything, but everything without health is nothing” (kesehatan memang bukan segala-galanya, tanpa kesehatan segalanya menjadi tak berarti ).
Perawatan keluarga yang komprehensip merupakan suatu proses yang rumit, sehingga memerlukan suatu pendekatan yang logis dan sistematis untuk bekerja dengan keluarga dan anggota keluarga . Pendekatan ini disebut proses keperawatan. Menurut Yura dan Walsh (1978), “proses keperawatan merupakan inti dan sari dari keperawatan”. Proses adalah suatu aksi gerak yang dilakukan dengan sengaja dan sadar dari satu titik ke titik yang lain menuju pencapaian tujuan. Pada dasarnya, proses keperawatan merupakan suatu proses pemecahan masalah yang sistematis, yang digunakan ketika bekerja dengan individu, keluarga, kelompok atau komunitas.
Salah satu aspek terpenting dari keperawatan adalah penekanannya pada keluarga. Keluarga bersama dengan individu, kelompok dan komunitas adalah klien atau resipien keperawatan. Secara empiris, disadari bahwa kesehatan para anggota keluarga dan kualitas kesehatan keluarga mempunyai hubungan yang erat. Akan tetapi, hingga saat ini sangat sedikit yang diberikan perhatian pada keluarga sebagai objek dari studi yang sistematis dalam bidang keperawatan. Beberapa alasan penting meyakinkan mengapa unit keluarga harus menjadi focus sentral dari keperawatan keluarga, yaitu : Dalam sebuah unit keluarga, disfungsi apa saja (penyakit, cedera, perpisahan) yang mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga, dan dalam hal tertentu, sering akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain dan unit ini secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kesinambungan pelayanan kesehatan melalui pendekatan keperawatan keluarga.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
      Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai kesinambungan pelayanan kesehatan melalui pendekatan keperawatan keluarga.

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai definisi kesehatan
b. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai definisi pelayanan kesehatan.
c. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai definisi keluarga.
d. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai definisi keperawatan keluarga.
e. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai teori pendekatan keperawatan keluarga.

C. Rumusan Masalah
            Bagaimanakah kesinambungan pelayanan kesehatan melalui pendekatan keperawatan keluarga?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kesehatan
Definisi kesehatan menurut WHO adalah sebagai berikut :
Health is defined as a state of complete physical, mental, and social wellbeing and not merely the absence of disease or  infirmity.”
Istilah kesehatan itu sendiri, di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1960, tentang pokok-pokok, Bab 1 Pasal 2 didefinisikan sebagai berikut :
“yang dimaksud dengan kesehatan dalam undang-undang ini ialah keadaan yang meliputi badan, rohani (mental), dan sosial dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan”.
Kesehatan menurut UU RI No. 23 Tahun 1992 Bab 1 Pasal 1 sebagai berikut : “kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan social yang menungkinkan setiap orang hidup produktif secara social ekonomis.
Kesehatan dalam keperawatan kesehatan komunitas didefinisikan sebagai kemampuan melaksanakan peran dan fungsi dengan efektif. Kesehatan adalah proses yang berlangsung mengarah kepada kreatifitas, konstruktif dan produktif. Menurut Hendrik L. Bloom ada 4 faktor yang mempengaruhi kesehatan, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. ( Ekasari, Mia Fatma, dkk : 5, Keperawatan Komunitas Upaya Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat, 2008).
Berdasarkan definisi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa definisi kesehatan merupakan suatu keadaan di mana seseorang dapat melakukan aktivitas dan menjalankan perannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

B. Definisi Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu determinan dalam mencapai masyarakat yang sehat, meskipun disadari bahwa peran lingkungan dan faktor perilaku merupakan determinan yang lebih besar pengaruhnya pada kesehatan (Blum).
Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit. Sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau balkesma saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3747/1/fkm-juanita5.pdf)

C. Definisi Keluarga
Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi, atau perkawinan. (WHO, 1969).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1988), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan. (Silvicion G. Bailon dan Aracelis Maglaya, 1989).
Berdasarkan definisi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa definisi keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu tempat yang terikat dengan perkawinan atau pengangkatan dan mereka saling membutuhkan.



D. Definisi Keperawatan Keluarga
Keperawatan keluarga merupakan bidang kekhususan spesialisasi yang terdiri dari keterampilan berbagai bidang keperawatan. Praktik keperawatan keluarga didefinisikan sebagai pemberian perawatan yang menggunakan proses keperawatan kepada keluarga dan anggota-anggotanya dalam situasi sehat dan sakit. Penekanan praktik keperawatan keluarga adalah berorientasi kepada kesehatan, bersifat holistik, sistemik dan interaksional, menggunakan kekuatan keluarga. (http://ilmukeperawatan.wordpress.com/ 2008/04/07/keperawatan-keluarga-sebuah-pengantar/).
Perawatan keluarga yang komprehensip merupakan suatu proses yang rumit, sehingga memerlukan suatu pendekatan yang logis dan sistematis untuk bekerja dengan keluarga dan anggota keluarga . Pendekatan ini disebut proses keperawatan. Menurut Yura dan Walsh (1978), “proses keperawatan merupakan inti dan sari dari keperawatan”. Proses adalah suatu aksi gerak yang dilakukan dengan sengaja dan sadar dari satu titik ke titik yang lain menuju pencapaian tujuan. Pada dasarnya, proses keperawatan merupakan suatu proses pemecahan masalah yang sistematis, yang digunakan ketika bekerja dengan individu, keluarga, kelompok atau komunitas.
Berdasarkan definisi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa keperawatan keluarga adalah suatu proses yang digunakan terhadap individu, keluarga, kelompok atau komunitas bersifat holistik sistemik dan interaksional, dan menggunakan kekuatan keluarga


E. Teori Pendekatan Keperawatan Keluarga
Pendekatan dalam keperawatan keluarga menurut Stanhope dan Lancaster (2004), yaitu sebagai berikut :
  1. Keluarga sebagai kontek (Family as Context)
  2. Keluarga sebagai klien (Family as Client)
3.   Keluarga sebagai sistem (Family as System)
4. Keluarga sebagai komponen sosial (Family as Component of Society)

BAB III
PEMBAHASAN

KESINAMBUNGAN PELAYANAN KESEHATAN
MELALUI PENDEKATAN KEPERAWATAN KELUARGA

A. Kesinambungan Pelayanan Kesehatan Menurut Pendekatan Keluarga   Sebagai Kontek (Family as Context)
Berikut ini merupakan relasional yang menunjang terhadap kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai kontek, yakni :
- Individu ditempatkan pada fokus pertama sedangkan keluarga yang   kedua
- Fokus pelayanan keperawatan: individu.
- Individu atau anggota keluarga akan dikaji dan diintervensi.
- Keluarga akan dilibatkan dalam berbagai kesempatan.

B. Kesinambungan Pelayanan Kesehatan Menurut Pendekatan Keluarga   Sebagai Keluarga Sebagai Klien (Family as Client)
Berikut ini merupakan relasional yang menunjang terhadap kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai klien, yakni:
- Perhatian utama pada keluarga sedangkan individu kedua
- Keluarga dilihat sebagai penjumlahan dari individu-individu anggota keluarga
- Perhatian dikonsentrasikan bagaimana kesehatan individu berdampak pada keluarga secara keseluruhan

C. Kesinambungan Pelayanan Kesehatan Menurut Pendekatan Keluarga   Sebagai Keluarga Sebagai Sistem (Family as System)
Berikut ini merupakan relasional yang menunjang terhadap kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai sistem, yakni:
- Fokus pada keluarga sebagai klien dan keluarga adalah sistem yang berinteraksi
- Pendekatan pada individu sebagai anggota keluarga dan keluarga secara bersamaan
- Interaksi antara anggota keluarga menjadi target intervensi keperawatan (seperti: hubungan orang tua dan anak, antara hirarki orang tua)

D. Kesinambungan Pelayanan Kesehatan Menurut Pendekatan Keluarga   Sebagai Keluarga Sebagai Komponen Sosial (Family as Component of Society)
Berikut ini merupakan relasional yang menunjang terhadap kesinambungan pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai komponen sosial, yakni:
- Keluarga dilihat sebagai sebuah institusi sosial, pendidikan, spiritual, ekonomi, dan kesehatan.
- Kelurga adalah unit utama dan kumpulan keluarga akan membentuk sistem yang lebih besar yaitu masyarakat
- Keluarga berinteraksi dengan institusi lain untuk menerima, bertukar dan saling memberi layanan.













BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keperawatan dalam keperawatan kesehatan komunitas dipandang sebagai bentuk pelayanan esensial yang diberikan oleh perawat kepada individu, keluarga, dan kelompok dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative dengan menggunakan proses keperawatan untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional sebagai bagian integral pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan biologi, psikologi, sosial dan spiritual secara komprehensif yang ditujukan kepada individu keluarga dan masyarakat baik sehat maupun sakit mencakup siklus hidup manusia. Lingkungan dalam paradigm keperawatan berfokus pada lingkungan masyarakat, dimana lingkungan dapat mempengaruhi status kesehatan manusia. Lingkungan disini meliputi lingkungan fisik, psikologis, sosial dan budaya dan lingkungan spiritual.
Tujuan keperawatan komunitas merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang dilakukan sebagai upaya dalam pencegahan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pelayanan keperawatan langsung (direction) terhadap individu, keluarga dan kelompok didalam konteks komunitas serta perhatian lagsung terhadap kesehatan seluruh masyarakat dan mempertimbangkan masalah atau isu kesehatan masyarakat yang dapat mempengaruhi individu, keluarga serta masyarakat.

B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan, seyogyanya mampu memahami dan menjelaskan tentang makna dari pelayanan kesehatan dan keluarga serta memahami berbagai macam teori dan aplikasi pendekatan keperawatan keluarga dalam pelayanan kesehatan, sehingga dapat mengetahui bagaimana kesinambungan pelayanan kesehatan melalui pendekatan keperawatan keluarga dalam lingkup keperawatan komunitas secara optimal.
   DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Ekasari, Mia Fatma, dkk. 2008. Keperawatan Komunitas Upaya Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat. Jakarta: Trans Info Media.

Go Nursing. 2008.  Keperawatan Keluarga Sebuah Pengantar. http://ilmukeperawatan.wordpress.com/2008/04/07/keperawatan-keluarga-sebuah-pengantar/. 09-10-2010.

Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Juanita. 2002. Peran Asuransi Kesehatan dalam Benchmarking Rumah Sakit dalam Menghadapi Krisis Ekonomi. Sumatera: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Jurusan Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3747/1/fkm-juanita5.pdf Tanggal akses : 15-10-2010.





masalah dalam keperawatan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek keperawatan dengan mengunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai bdy of knowledge yang dapat diuji kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat langsung.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi.
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat interaksi inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering menimbulkan konflik baik pada diri pelaku dan penerima praktek keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan harus mempunyai standar profesi dan aturan lainnya yang didasari  oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, guna memberi perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya standar praktek profesi keperawatan inilah dapat dilihat apakah seorang perawat melakukan malpraktek, kelalaian ataupun bentuk pelanggaran praktek keperawatan lainnya.
Kelalaian (Negligence) adalah salah satu bentuk pelanggaran praktek keperawatan, dimana perawat melakukan kegiatan prakteknya yang seharusnya mereka lakukan pada tingkatannya, lalai atau tidak mereka lakukan. Kelalaian ini berbeda dengan malpraktek, malpraktek merupakan pelanggaran dari perawat yang melakukan kegiatan yang tidak seharusnya mereka lakukan pada tingkatanya tetapi mereka lakukan.
Kelalaian dapat disebut sebagai bentuk pelanggaran etik ataupun bentuk pelanggaran hukum, tergantung bagaimana masalah kelalaian itu dapat timbul, maka yang penting adalah bagaimana menyelesaikan masalah kelalaian ini dengan memperhatikan dari berbagai sudut pandang, baik etik, hukum, manusianya baik yang memberikan layanan maupun penerima layanan. Peningkatan kualitas praktek keperawatan, adanya standar praktek keperawatan dan juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia keperawatan adalah hal penting.
Dengan berbagai latar belakang diatas maka kelompok membahas beberapa hal yang berkaitan dengan kelalaian, baik ditinjau dari hukum dan etik keperawatan, disamping itu juga kelompok membahas bagaimana dampak dan bagaimana mencegah serta melindungi klien dari kelalaian praktek keperawatan.

B.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini,
·         Tujuan umum yaitu mahasiswa dapat memahami kelalaian dalam bidang keperawatan dilihat dari dimensi etik dan dimensi hukum.
·         Tujuan khusus yaitu  mahasiswa dapat menjelaskan tentang pengertian, kriteria dan unsur-unsur terjadinya kelalaian, disamping itu juga dapat menjelaskan dampak yang terjadi dengan adanya kelalaian serta bagaimana mencegah terjadinya kelalaian dalam praktek keperawatan.


C.     Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini dengan membuat kasus yang sering terjadi di ruang rawat keperawatan  dan membahasnya, kemudian kelompok mendiskusikannya dengan menggunakan studi lieratur kepustakaan.
D.    Sistematika Penulisan
Penulisan makalah kelompok ini terdiri dari lima bab, yang terdiri dari:
Bab I, pendahuluan ; yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan, Bab II, tinjauan teoritis yang terdiri dari ; definisi kelalaian dan malpraktek, jenis-jenis kelalaian, kelalaian dilihat dari segi etik dan hukum, Liabilitas dala keperawatan, Bab III; Pembahasan, dibab ini akan dibahas kasus yang sering terjadi diruang rawat keperawatan, baik dari penyebab terjadinya kelalaian, apa bentuk kelalaian, bagaimana mencegah dan menangani bila timbul kelalaian. Bab IV merupakan penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Beberapa Definisi
1.      Hukum dalam keperawatan
Hukum adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah-kaidah hukum, sedangkan etika adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah-kaidah non hukum, yaitu kaidah-kaidah tingkah laku (etika) (Supriadi, 2001).
Hukum adalah ” A binding custom or practice of acommunity: a rule of conduct or action, prescribed or fomally recognized as binding or enforced by a controlling authority “ (Webster’s, 2003).
Banyak sekali definisi-definisi yang berkaitan dengan hukum, tetapi yang penting adalah hukum itu sifatnya rasionalogic,  sedangkan tentang hukum dalam keperawatan adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah-kaidah hukum keperawatan yang rasionalogic dan dapat dipertanggung jawabkan.
Fungsi hukum dalam keperawatan, sebagai berikut:
a.       Memberi kerangka kerja untuk menetapkan kegiatan praktek perawatan apa yang legal dalam merawat pasien.
b.      Membedakan tanggung jawab perawat dari profesi kesehatan lain
c.       Membantu menetapkan batasan yang independen tentang kegiatan keperawatan
d.      Membantu mempertahankan standar praktek keperawatan dengan membuat perawat akontabilitas dibawah hukum yang berlaku
2.      Malpraktek
Balck’s law dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai ”professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or those entitled to rely upon them”.
Bila dilihat dari definisi diatas maka malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno, 2005). Malpraktek dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya dokter, perawat. Profesional perbankan dan akutansi adalah beberapa profesi yang dapat melakukan malpraktek.
3.      Kelalaian (Negligence)
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur kelalaian.
Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005).
Sedangkan menurut amir dan hanafiah (1998) yang dimaksud dengan kelalaian adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.
Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan) atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-hati). (Tonia, 1994).
Dapat disimpulkan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan. Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
B.        Jenis-jenis kelalaian
Bentuk-bentuk dari kelalaian menurut sampurno (2005), sebagai berikut:
1.      Malfeasance : yaitu melakukan tindakan yang menlanggar hukum atau tidak tepat/layak, misal: melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi yang memadai/tepat
2.      Misfeasance : yaitu melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
Misal: melakukan tindakan keperawatan dengan menyalahi prosedur
3.      Nonfeasance : Adalah tidak melakukan tindakan keperawatan yang merupakan kewajibannya.
Misal: Pasien seharusnya dipasang pengaman tempat tidur tapi tidak dilakukan.
Sampurno (2005), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur, yaitu:
1.      Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
2.      Dereliction of the duty atau penyimpanagan kewajiban
3.      Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
4.      Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”

C.     Liabilitas dalam praktek keperawatan
Liabilitas adalah tanggungan yang dimiliki oleh seseorang terhadap setiap tindakan atau kegagalan melakukan tindakan. Perawat profesional, seperti halnya tenaga kesehatan lain mempunyai tanggung jawab terhadap setiap bahaya yang timbulkan dari kesalahan tindakannya. Tanggungan yang dibebankan perawat dapat berasal dari kesalahan yang dilakukan oleh perawat baik berupa tindakan kriminal  kecerobohan dan kelalaian.
Seperti telah didefinisikan diatas bahwa kelalaian merupakan kegagalan melakukan sesuatu yang oleh orang lain dengan klasifikasi yang sama, seharusnya dapat dilakukan dalam situasi yang sama, hal ini merupakan masalah hukum yang paling lazim terjadi dalam keperawatan. Terjadi akibat kegagalan menerapkan pengetahuan dalam praktek antara lain disebabkan kurang pengetahuan. Dan dampak kelalaian ini dapat merugikan pasien.
Sedangkan akuntabilitas adalah konsep yang sangat penting dalam praktik keperawatan. Akuntabilitas mengandung arti dapat mempertaggung jawabkan suatu tindakan yang dilakukan dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan tersebut (Kozier, 1991).

D.    Dasar hukum perundang-undangan praktek keperawatan.
Beberapa perundang-undangan yang melindungi  bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan yang ada di Indonesia, adalah sebagai berikut:
    1. Undang – undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, bagian kesembilan pasal 32 (penyembuhan penyakit dan pemulihan)
    2. Undang – undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
    3. Peraturan menteri kesehatan No.159b/Men.Kes/II/1998 tentang Rumah Sakit
    4. Peraturan Menkes No.660/MenKes/SK/IX/1987 yang dilengkapi surat ederan Direktur Jendral Pelayanan Medik No.105/Yan.Med/RS.Umdik/Raw/I/88 tentang penerapan standard praktek keperawatan bagi perawat kesehatan di Rumah Sakit.
    5. Kepmenkes No.647/SK/IV/2000 tentang registrasi dan praktik perawat dan direvisi dengan SK Kepmenkes No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang registrasi dan praktik perawat.
Perlindungan hukum baik bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan memiliki akontabilitas terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari tidak menutup kemungkinan perawat berbuat kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam menjalankan prakteknya secara hukum perawat harus memperhatikan baik aspek moral atau etik keperawatan dan juga aspek hukum yang berlaku di Indonesia. Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua komponen utama, yakni tanggung jawab dan tanggung gugat. Hal ini berarti tindakan yang dilakukan perawat dilihat dari praktik keperawatan, kode etik dan undang-undang dapat dibenarkan atau absah (Priharjo, 1995)
E.     Tanggung jawab profesi perawat
Perawat adalah salah satu pekerjaan yang memiliki ciri atau sifat yang sesuai dengan ciri-ciri profesi. Saat ini Indonesia sudah memiliki pendidikan profesi keperawatan yang sesuai dengan undang-undang sisdiknas, yaitu pendidikan keprofesian yang diberikan pada orang yang telah memiliki jenjang S1 di bidang keperawatan, bahkan sudah ada pendidikan spesialis keperawatan. Organisasi profesi keperawatan telah memiliki standar profesi walaupun secara luas sosialisasi masih berjalan lamban. Karena Tanggung jawab dapat dipandang dalam suatu kerangka sistem hirarki, dimulai dati tingkat individu, tingkat institusi/profesional dan tingkat sosial (Kozier,1991)
Profesi perawat telah juga memiliki aturan tentang kewenangan profesi, yang memiliki dua aspek, yaitu kewenangan material dan kewenangan formil. Kewenagan material diperoleh sejak seseorang memperoleh kompetensi dan kemudian ter-registrasi, yang disebut sebagai Surat ijin perawat (SIP) dalam kepmenkes 1239. sedangkan kewenangan formil adalah ijin yang memberikan kewenangan kepada perawat (penerimanya) untuk melakukan praktek profesi perawat, yaitu Surat Ijin Kerja (SIK) bila bekerja didalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara perorangan atau kelompok. (Kepmenkes 1239, 2001)
Kewenangan profesi haruslah berkaitan dengan kompetensi profesi, tidak boleh keluar dari kompetensi profesi. Kewenangan perawat melakukan tindakan diluar kewenangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 Kepmenkes 1239 adalah bagian dari good samaritan law yang memang diakui diseluruh dunia. Otonomi kerja perawat dimanifestasikan ke dalam adanya organisasi profesi, etika profesi dan standar pelayanan profesi. Oragnisasi profesi  atau representatif dari masyrakat profesi harus mampu melaksanakan self-regulating, self-goverming dan self-disciplining, dalam rangka memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa perawat berpraktek adalah perawat yang telah kmpeten dan memenuhi standar.
Etika profesi dibuat oleh organisasi profesi/masyrakat profesi, untuk mengatur sikap dan tingkah laku para anggotanya, terutama berkaitan dengan moralitas. Etika profesi perawat mendasarkan ketentuan-ketentuan didalamnya kepada etika umum dan sifat-sifat khusus moralitas profesi perawat, seperti autonomy, beneficence, nonmalefience, justice, truth telling, privacy, confidentiality, loyality, dan lalin-lain. Etika profesi bertujuan mempertahankan keluhuran profesi umumnya dituliskan dalam bentuk kode etik dan pelaksanaannya diawasi oleh sebuah majelis atau dewan kehormatan etik.
Sedangkan standar pelayanan Kepmenkes 1239 disebut sebagai standar profesi, dan diartikan sebagai pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalanankan profesi secara baik dan benar.
Tanggung jawab hukum pidana profesi perawat jelas merupakan tanggung jawab perorangan atas perbuatan pelanggaran hukum pidana yang dilakukannya. Jenis pidana yang mungkin dituntutkan kepada perawat adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP).

Didalam setting Rumah Sakit, pidana kelallaian yang dapat dituntutkan kepada profesi perawat dapat berupa kelalaian dalam melakukan asuhan keperawatan maupun kelalaian dalam melakukan tindakan medis sebagai pelaksana delegasi tindakan medis. Kelalaian dapat berupa kelalaian dalam mencegah kecelakaan di Rumah Sakit (jatuh), kelalaian dalam mencegah terjadinya decubitus atau pencegahan infeksi, kelalaian dalam melakukan pemantauan keadaan pasien, kelalaian dalam merespon suatu kedaruratan, dan bentuk kelalaian lainnya yang juga dapat terjadi pada pelayanan profesi perorangan.

F.      Beberapa bentuk Kelalaian dalam Keperawatan.
Pelayanan kesehatan saat ini menunjukkan kemajuan yang cepat, baik dari segi pengetahuan maupun teknologi, termasuk bagaimana penatalaksanaan medis dan tindakan keperawatan yang bervariasi. Sejalan dengan kemajuan tersebut kejadian malpraktik dan juga adanya kelalaian juga terus meningkat sebagai akibat kompleksitas dari bentuk pelayanan kesehatan khususnya keperawatan yang diberikan dengan standar keperawatan. (Craven & Hirnle, 2000).
                 Beberapa situasi yang berpotensial menimbulkan tindakan kelalaian dalam keperawatan diantaranya yaitu :
  1. Kesalahan pemberian obat: Bentuk kelalaian yang sering terjadi. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya jumlah obat yang beredar metode pemberian yang bervariasi. Kelalaian yang sering terjadi, diantaranya kegagalan membaca label obat, kesalahan menghitung dosis obat, obat diberikan kepada pasien yang tiak teoat, kesalahan mempersiapkan konsentrasi, atau kesalahan rute pemberian. Beberapa kesalahan tersebut akan menimbulkan akibat yang fatal, bahkan menimbulkan kematian.
  2. Mengabaikan Keluhan Pasien: termasuk perawat dalam melalaikan dalan melakukan observasi dan memberi tindakan secara tepat. Padahal dapat saja keluhan pasien menjadi data yang dapat dipergunakan dalam menentukan masalah pasien dengan tepat (Kozier, 1991)
  3. Kesalahan Mengidentifikasi Masalah Klien: Kemunungkinan terjadi pada situasi RS yang cukup sibuk, sehingga kondisi pasien tidak dapat secara rinci diperhatikan. (Kozier, 1991).
  4. Kelalaian di ruang operasi: Sering ditemukan kasus adanya benda atau alat kesehatan yang tertinggal di tubuh pasien saat operasi. Kelalaian ini juga kelalaian perawat, dimana peran perawat di kamar operasi harusnya mampu mengoservasi jalannya operasi, kerjasama yang baik dan terkontrol dapat menghindarkan kelalaian ini.
  5. Timbulnya Kasus Decubitus selama dalam perawatan: Kondisi ini muncul karena kelalaian perawat, kondisi ini sering muncul karena asuhan keperawatan yang dijalankan oleh perawat tidak dijalankan dengan baik dan juga pengetahuan perawat terdahap asuhan keperawatan tidak optimal.
  6. Kelalaian terhadap keamanan dan keselamatan Pasien: Contoh yang sering ditemukan adalah  kejadian pasien jatuh yang sesungguhnya dapat dicegah jika perawat memperhatikan keamanan tempat tidur pasien.  Beberapa rumah sakit memiliki aturan tertentu mengenai penggunaan alat-alat untuk mencegah hal ini.
G.    Dampak Kelalaian
Kelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas, tidak saja kepada pasien dan keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit, Individu perawat pelaku kelalaian dan terhadap profesi. Selain gugatan pidana, juga dapat berupa gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi. (Sampurna, 2005).
Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan bentuk dari pelanggaran dasar moral praktek keperawatan baik bersifat pelanggaran autonomy, justice, nonmalefence, dan lainnya. (Kozier, 1991) dan penyelesainnya dengan menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi hukum pelanggaran ini dapat ditujukan bagi pelaku baik secara individu dan profesi dan juga institusi penyelenggara pelayanan praktek keperawatan,  dan bila ini terjadi kelalaian dapat digolongan perbuatan pidana dan perdata (pasal 339, 360 dan 361 KUHP).


BAB III
PEMBAHASAN

KASUS :
Tn.T umur 55 tahun, dirawat di ruang 206 perawatan neurologi Rumah Sakit AA, tn.T dirawat memasuki hari ketujuh perawatan. Tn.T dirawat di ruang tersebut dengan diagnosa medis stroke iskemic, dengan kondisi saat masuk Tn.T tidak sadar, tidak dapat makan,  TD: 170/100, RR: 24 x/mt, N: 68 x/mt. Kondisi pada hari ketujuh perawatan didapatkan Kesadaran compos mentis, TD: 150/100, N: 68, hemiparese/kelumpuhan anggota gerak dextra atas dan bawah, bicara pelo, mulut mencong kiri. Tn.T dapat mengerti bila diajak bicara dan dapat menjawab pertanyaan dengan baik tetapi jawaban Tn.T tidak jelas (pelo). Tetapi saat sore hari sekitar pukul 17.00 wib terdengar bunyi gelas plastik jatuh dan setelah itu terdengar bunyi seseorang jatuh dari tempat tidur, diruang 206 dimana tempat Tn.T dirawat.  Saat itu juga perawat yang mendengar suara tersebut mendatangi dan masuk ruang 206, saat itu perawat mendapati Tn.T sudah berada dilantai dibawah tempatt tidurnya dengan barang-barang disekitarnya berantakan.
Ketika peristiwa itu terjadi keluarga Tn.T sedang berada dikamar mandi, dengan adanya peristiwa itu keluarga juga langsung mendatangi tn.T, keluarga juga terkejut dengan peristiwa itu, keluarga menanyakan kenapa terjadi hal itu dan mengapa, keluarga tampak kesal dengan kejadian itu. Perawat dan keluarga menanyakan kepada tn.T kenapa bapak jatuh, tn.T mengatakan ”saya akan mengambil minum tiba-tiba saya jatuh, karena tidak ada pengangan pad temapt tidurnya”, perawat bertanya lagi, kenapa bapak tidak minta tolong kami ” saya pikir kan hanya mengambil air minum”.
Dua jam sebelum kejadian, perawat merapikan tempat tidur tn.T dan perawat memberikan obat injeksi untuk penurun darah tinggi (captopril) tetapi perawat lupa memasng side drill tempat tidur tn.T kembali. Tetapi saat itu juga perawat memberitahukan pada pasien dan keluarga, bila butuh sesuatu dapat memanggil perawat dengan alat yang tersedia.

ANALISA KASUS
Contoh kasus pada bab III merupakan salah satu bentuk kasus kelalaian dari perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, seharusnya perawat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pasien (Tn.T). rasa nyaman dan aman salah satunya dengan menjamin bahwa Tn.T tidak akan terjadi injuri/cedera, karena kondisi Tn.T mengalami kelumpuhan seluruh anggota gerak kanan, sehingga mengalami kesulitan dalam beraktifitas atau menggerakan tubuhnya.
Pada kasus diatas menunjukkan bahwa kelalaian perawat dalam hal ini lupa atau tidak memasang pengaman tempat tidur (side drill) setelah memberikan obat injeksi captopril, sehingga dengan tidak adanya penghalang tempat tidur membuat Tn.T merasa leluasa bergerak dari tempat tidurnya tetapi kondisi inilah yang menyebabkan Tn.T terjatuh.
Bila melihat dari hubungan perawat – pasien dan juga tenaga kesehatan lain tergambar pada bentuk pelayanan praktek keperawatan, baik dari kode etik dan standar praktek atau ilmu keperawatan. Pada praktek keperawatan, perawat dituntut untuk dapat bertanggung jawab baik etik, disiplin dan hukum. Dan prinsipnya dalam melakukan praktek keperawatan, perawat harus menperhatikan beberapa hal, yaitu: Melakukan praktek keperawatan dengan ketelitian dan kecermatan, sesuai standar praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai kompetensinya, dan mempunyai upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan pasien sebagai tujuan praktek.
Kelalaian implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila penyelesaiannya dari segi etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani oleh profesinya sendiri dalam hal ini dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi profesi, dan bila penyelesaian dari segi hukum maka harus dilihat apakah hal ini sebagai bentuk pelanggaran pidana atau perdata atau keduannya dan ini membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak yang berkompeten dibidang hukum.
 Bila dilihat dari beberapa teori diatas, maka kasus Tn.T, merupakan kelalaian dengan alasan, sebagai berikut:
1.      Kasus kelalaian Tn.T terjadi karena perawat tidak melakukan tindakan keperawatan yang merupakan kewajiban perawat terhadap pasien, dalam hal ini perawat tidak melakukan tindakan keperawatan sesuai standar profesi keperawatan, dan bentuk kelalaian perawat ini termasuk dalam bentuk Nonfeasance.
Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perawat tidak melakukan tindakan keperawatan dengan benar, diantaranya sebagai berikut:
a.       Perawat tidak kompeten (tidak sesuai dengan kompetensinya)
b.      Perawat tidak mengetahui SAK dan SOP
c.       Perawat tidak memahami standar praktek keperawatan
d.      Rencana keperawatan yang dibuat tidak lengkap
e.       Supervise dari ketua tim, kepala ruangan atau perawat primer tidak dijalankan dengan baik
f.       Tidak mempunyai tool evaluasi yang benar dalam supervise keperawatan
g.      Kurangnya komunikasi perawat kepada pasien dan kelaurga tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perawatan pasien. Karena kerjasama pasien dan keluarga merupakan hal yang penting.
h.      Kurang atau tidak melibatkan keluarga dalam merencanakan asuhan keperawatan

2.      Dampak – dampak kelalaian
Dampak dari kelalaian secara umum dapat dilihat baik sebagai pelanggaran etik dan pelanggaran hukum, yang jelas mempunyai dampak bagi pelaku, penerima, dan organisasi profesi dan administrasi.
a.       Terhadap Pasien
1)      Terjadinya kecelakaan atau injury dan dapat menimbulkan masalah keperawatan baru
2)      Biaya Rumah Sakit bertambah akibat bertambahnya hari rawat
3)      Kemungkinan terjadi komplikasi/munculnya masalah kesehatan/keperawatan lainnya.
4)      Terdapat pelanggaran hak dari pasien, yaitu mendapatkan perawatan sesuai dengan standar yang benar.
5)      Pasien dalam hal ini keluarga pasien dapat menuntut pihak Rumah Sakit atau perawat secara peroangan sesuai dengan ketententuan yang berlaku, yaitu KUHP.
b.      Perawat sebagai individu/pribadi
1)      perawat tidak dipercaya oleh pasien, keluarga dan juga pihak profesi sendiri, karena telah melanggar prinsip-prinsip moral/etik keperawatan, antara lain:
a)      Beneficience, yaitu tidak melakukan hal yang sebaiknya dan merugikan pasien
b)      Veracity, yaitu tidak mengatakan kepada pasien tentang tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh pasien dan keluarga untuk dapat mencegah pasien jatuh dari tempat tidur
c)      Avoiding killing, yaitu perawat tidak menghargai kehidupan manusia, jatuhnya pasien akan menambah penderitaan pasien dan keluarga.
d)     Fidelity, yaitu perawat tidak setia pad komitmennya karena perawat tidak mempunyai rasa “caring” terhadap pasien dan keluarga, yang seharusnya sifat caring ini selalu menjadi dasar dari pemberian bantuan kepada pasien.
2)      Perawat akan menghadapai tuntutan hukum dari keluarga pasien dan ganti rugi atas kelalaiannya. Sesuai KUHP.
3)      Terdapat unsur kelalaian dari perawat, maka perawat akan mendapat peringatan baik dari atasannya (Kepala ruang – Direktur RS) dan juga organisasi profesinya.
c.       Bagi Rumah Sakit
1)      Kurangnya kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan RS
2)      Menurunnya kualitas keperawatan, dan kemungkinan melanggar visi misi Rumah Sakit
3)      Kemungkinan RS dapat dituntut baik secara hukum pidana dan perdata karena melakukan kelalaian terhadap pasien
4)      Standarisasi pelayanan Rumah Sakit akan dipertanyakan baik secara administrasi dan prosedural
d.      Bagi profesi
1)      Kepercayaan masyarakat terhadap profesi keperawatan berkurang, karena menganggap organisasi profesi tidak dapat menjamin kepada masyarakat bahwa perawat yang melakukan asuhan keperawatan adalah perawat yang sudah kompeten dan memenuhi standar keperawatan.
2)      Masyarakat atau keluarga pasien akan mempertanyakan mutu dan standarisasi perawat yang telah dihasilkan oleh pendidikan keperawatan

3.      Hal yang perlu dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan bagi penerima pelayanan asuhan keperawatan, adalah sebagai berikut:
# Bagi Profesi atau Organisasi Profesi keperawatan :
a.       Bagi perawat secara individu harus melakukan tindakan keperawatan/praktek keperawatan dengan kecermatan dan ketelitian tidak ceroboh.
b.      Perlunya standarisasi praktek keperawatan yang di buat oleh organisasi profesi dengan jelas dan tegas.
c.       Perlunya suatu badan atau konsil keperawatan yang menyeleksi perawat yang sebelum bekerja pada pelayanan keperawatan dan melakukan praktek keperawatan.
d.      Memberlakukan segala ketentuan/perundangan yang ada kepada perawat/praktisi keperawatan sebelum memberikan praktek keperawatan sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara administrasi dan hukum, missal: SIP dikeluarkan dengan sudah melewati proses-proses tertentu.

# Bagi Rumah Sakit dan Ruangan
  1. Hendaknya Rumah Sakit melakukan uji kompetensi sesuai standarisasi yang telah ditetapkan oleh profesi keperawatan
  2. Rumah Sakit dalam hal ini ruangan rawat melakukan uji kompetensi pada bidangnya secara bertahap dan berkesinambungan.
  3. Rumah Sakit/Ruang rawat dapat melakukan system regulasi keperawatan yang jelas dan sesuai dengan standar, berupa registrasi, sertifikasi, lisensi bagi perawatnya.
  4. Perlunya pelatihan atau seminar secara periodic bagi semua perawat berkaitan dengan etik dan hukum dalam keperawatan.
  5. Ruangan rawat harus membuat SAK atau SOP yang jelas dan sesuai dengan standar praktek keperawatan.
  6. Bidang keperawatan/ruangan dapat memberikan pembinaan kepada perawat yang melakukan kelalaian.
  7. Ruangan dan RS bekerjasama dengan organisasi profesi dalam pembinaan dan persiapan pembelaan hukum bila ada tuntutan dari keluarga.

Penyelesaian Kasus Tn.T dan kelalaian perawat diatas, harus memperhatikan berbagai hal baik dari segi pasien dan kelurga, perawat secara perorangan, Rumah Sakit sebagai institusi dan juga bagaimana padangan dari organisasi profesi.
Pasien dan keluarga perlu untuk dikaji dan dilakukan testomoni atas kejadian tersebut, bila dilihat dari kasus bahwa Tn.T dan kelurga telah diberikan penjelasan oleh perawat sebelum, bila membutuhkan sesuatu dapat memanggil perawat dengan menggunakan alat bantu yang ada. Ini menunjukkan juga bentuk kelalaian atau ketidakdisiplinan dari pasien dan keluarga atas jatuhnya Tn.T.
Segi perawat secara perorangan, harus dilihat dahulu apakah perawat tersebut kompeten dan sudah memiliki Surat ijin perawat, atau lainnya sesuai ketentuan perudang-undangan yang berlaku, apa perawat tersebut memang kompete dan telah sesuai melakukan praktek asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke, seperti Tn.T.
Tetapi bagaimanapun perawat harus dapat mempertanggung jawabkan semua bentuk kelalaian sesuai aturan perundangan yang berlaku.

Bagi pihak Rumah Sakit, harus juga memberikan penjelasan apakah perawat yang dipekerjakan di Rumah Sakit tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang diperbolehkan oleh profesi untuk mempekerjakan perawat tersebut. Apakah RS atau ruangan tempat Tn.T dirawat mempunyai standar (SOP) yang jelas. Dan harus diperjelas bagaimana Hubungan perawat sebagai pemberi praktek asuhan keperawatan di  dan kedudukan RS terhadap perawat tersebut.
Bagi organisasi profesi juga harus diperhatikan beberapa hal yang memungkinkan perawat melakukan kelalaian, organisasi apakah sudah mempunyai standar profesi yang jelas dan telah diberlakukan bagi anggotannya, dan apakah profesi telah mempunyai aturan hukum yang mengikat anggotannya sehingga dapat mempertanggung jawabkan tindakan praktek keperawatannya dihadapan hukum, moral dan etik keperawatan.
Keputusan ada atau tidaknya kelalaian/malpraktek bukanlah penilaian atas hasil akhir pelayanan praktek keperawatan pada pasien, melainkan penilaian atas sikap dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga medis dibandingkan dengan standar yang berlaku.   

BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam arti malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur kelalaian.
Dapat dikatakan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan.
Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Kelalaian merupakan bentuk pelanggaran yang dapat dikategorikan dalam pelanggaran etik dan juga dapat digolongan dalam pelanggaran hukum, yang jeas harus dilihat dahulu proses terjadinya kelalaian tersebut bukan pada hasil akhir kenapa timbulnya kelalaian. Harus dilakukan penilaian terleih dahulu atas sikap dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga keperawatan dengan standar yang berlaku.
Sebagai bentuk tanggung jawab dalam praktek keperawatan maka perawat sebelum melakukan praktek keperawatan harus mempunyai kompetensi baik keilmuan dan ketrampilan yang telah diatur dalam profesi keperawatan, dan legalitas perawat Indonesia dalam melakukan praktek keperawatan telah diatur oleh perundang-undangan tentang registrasi dan praktek keperawatan disamping mengikuti beberapa peraturan perundangan yang berlaku.
Penyelesaian kasus kelalaian harus dilihat sebagai suatu kasus profesional bukan sebagai kasus kriminal, berbeda dengan perbuatan/kegiatan yang sengaja melakukan kelalaian sehingga menyebabkan orang lain menjadi cedera dll. Disini perawat dituntut untu lebih hati-hati, cermat dan tidak cerobah dalam melakukan praktek keperawatannya. Sehingga pasien terhindar dari kelalaian.


B.     SARAN
1.      Standar profesi keperawatan dan standar kompetensi merupakan hal penting untuk menghindarkan terjadinya kelalaian, maka perlunya pemberlakuan standar praktek keperawatan secara Nasional dan terlegalisasi dengan jelas.
2.      Perawat sebagai profesi baik perorangan dan kelompok hendaknya memahami dan mentaati aturan perundang-undangan yang telah diberlakukan di Indonesia, agar perawat dapat terhindar dari bentuk pelanggaran baik etik dan hukum.
3.      Pemahaman dan bekerja dengan kehati-hatian, kecermatan, menghindarkan bekerja dengan cerobah, adalah cara terbaik dalam melakukan praktek keperawatan sehingga dapat terhindar dari kelalaian/malpraktek.
4.      Rumah Sakit sebagai institusi pengelola layanan praktek keperawatan dan asuhan keperawatan harus memperjelas kedudukannya dan hubungannya dengan pelaku/pemberi pelayanan keperawatan, sehingga dapat diperjelas bentuk tanggung jawab dari masing-masing pihak
5.      Penyelesaian terbaik dalam menghadapi masalah kelalaian adalah dengan jalan melakukan penilaian atas sikap dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga perawat dan dibandingkan dengan standar yang berlaku.


Daftar Pustaka
Amir & Hanafiah, (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi ketiga: Jakarta: EGC.

Craven & Hirnle. (2000). Fundamentals of nursing. Philadelphia. Lippincott

Huston, C.J, (2000). Leadership Roles and Management Functions in Nursing; Theory and Aplication; third edition: Philadelphia: Lippincott.

Kozier. (2000). Fundamentals of Nursing : concept theory and practices.  Philadelphia. Addison Wesley.

Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001, Tetang Resgistrasi Praktik Perawat.

Leah curtin & M. Josephine Flaherty (1992). Nursing Ethics; Theories and Pragmatics: Maryland: Robert J.Brady CO.

Priharjo, R (1995). Pengantar etika keperawatan; Yogyakarta: Kanisius.

Redjeki, S. (2005). Etika keperawatan ditinjau dari segi hukum. Materi seminar tidak diterbitkan.

Supriadi, (2001). Hukum Kedokteran : Bandung: CV Mandar Maju.

Staunton, P and Whyburn, B. (1997). Nursing and the law. 4th ed.Sydney: Harcourt.

Sampurno, B. (2005). Malpraktek dalam pelayanan kedokteran. Materi seminar tidak diterbitkan.

Soenarto Soerodibroto, (2001). KUHP & KUHAP dilengkapi yurisprodensi Mahkamah Agung dan Hoge Road: Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada.

 Tonia, Aiken. (1994). Legal, Ethical & Political Issues in Nursing. 2ndEd. Philadelphia. FA Davis.

Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun  1999. Jakarta: Sinar Grafika.