16/02/12

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam Lokakarya Nasional Keperawatan di Jakarta (1983) telah disepakati bahwa keperawatan adalah “suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang didasarkan pada pencapaian kebutuhan dasar manusia”. Dalam hal ini asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien bersifat komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat, baik dalam kondisi sehat dan sakit yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Sedangkan asuhan yang diberikan berupa bantuian-bantuan kepada pasien karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan dan atau kemauan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri.
Pada makalah ini akan dibahas secara singkat asuhan keperawatan pada pasien lanjut usia di tatanan klinik (clinical area), dimanan pendekatan yang digunakan adalah proses keperawatan yang meliputi pengkajian (assessment), merumuskan diagnosa keperawatan (Nursing diagnosis), merencanakan tindakan keperawatan (intervention), melaksanakan tindakan keperawatan (Implementation) dan melakukan evaluasi (Evaluation). Dibawah ini ada beberapa alasan timbulnya perhatian kepada lanjut usia, yaitu :
  1. Pensiunan dan masalah-masalahnya
  2. Kematian mendadak karena penyakit jantung dan stroke
  3. Meningkatnya jumlah lanjut usia
  4. Pencemaran pelayanan kesehatan
  5. Kewajiban Pemerintahterhadap orang cacat dan jompo
  6. perkembangan ilmu
  7. Program PBB
  8. Konfrensi Internasional di WINA tahun 1983
  9. Kurangnya jumlah tempat tidur di rumah sakit
  10. Mahalnya obat-obatan
BAB II
PEMBAHASAN
  1. A. Kegiatan Asuhan Keperawatan Dasar Bagi Lansia
Kegiatan Asuhan Keperawatan Dasar Bagi Lansia menurut Depkes, dimaksudkan untuk memberikan bantuan, bimbingan pengawasan, perlindungan dan pertolongan kepada lanjut usia secara individu maupun kelompok, seperti di rumah / lingkungan keluarga, Panti Werda maupun Puskesmas, yang diberikan oleh perawat. Untuk asuhan keperawatan yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti.
Adapun asuhan keperawatan dasar yang diberikan, disesuaikan pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut usia aktif atau pasif, antara lain:
1        Untuk lanjut usia yang masih aktif, asuhan keperawatan dapat berupa dukungan tentang personal hygiene: kebersihan gigi dan mulut atau pembersihan gigi palsu: kebersihan diri termasuk kepala, rambut, badan, kuku, mata serta telinga: kebersihan lingkungan seperti tempat tidur dan ruangan : makanan yang sesuai, misalnya porsi kecil bergizi, bervariai dan mudah dicerna, dan kesegaran jasmani.
2        Untuk lanjut usia yang mengalami pasif, yang tergantung pada orang lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama seperti pada lanjut usia aktif, dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas. Khususnya bagi yang lumpuh, perlu dicegah agar tidak terjadi dekubitus (lecet).
Lanjut usia mempunyai potensi besar untuk menjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia, antara lain:
  1. Berkurangnya jaringan lemak subkutan
  2. Berkurangnya jaringan kolagen dan elastisitas
  3. Menurunnya efisiensi kolateral capital pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh
  4. Adanya kecenderungan lansia imobilisasi sehingga potensi terjadinya dekubitus.
  1. B. Pendekatan Perawatan Lanjut Usia
    1. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang dialami klien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bias di capai dan dikembangkan, dan penyakit yang yang dapat dicegah atau ditekan progresifitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
  1. Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan sendiri.
  2. Klien lanjut usia yang pasif atau yang tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien usia lanjut ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk mempertahankan kesehatannya.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila keberhasilan kurang mendapat perhatian.
Disamping itu kemunduran kondisi fisik akibat proses penuaan, dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan, kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindahdari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting meskipun tidak selalu keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala yang ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang pada klien lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat dan intensif, misalnya gangguan serebrovaskuler mendadak, trauma, intoksikasi dan kejang-kejang, untuk itu perlu pengamatan secermat mungkin.
Adapun komponen pendekatan fisik yang lebuh mendasar adalah memperhatikan atau membantu para klien lanjut usia untuk bernafas dengan lancar, makan, minum, melakukan eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan, tidur, menjaga sikap, tubuh waktu berjalan, duduk, merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian, mempertahankan suhu badan melindungi kulit dan kecelakaan.Toleransi terhadap kakurangan O2 sangat menurun pada klien lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus disegah dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan melakukan gerak badan yang berlebihan.
Seorang perawat harus mampu memotifasi para klien lanjut usia agar mau dan menerima makanan yang disajikan. Kurangnya kemampuan mengunyah sering dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menghidangkan makanan agak lunak atau memakai gigi palsu. Waktu makan yang teratur, menu bervariasi dan bergizi, makanan yang serasi dan suasana yang menyenangkan dapat menambah selera makan, bila ada penyakit tertentu perawat harus mengatur makanan mereka sesuai dengan diet yang dianjurkan.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi bisa saja timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, kebersihan badan, tempat tidur, kebersihan rambut, kuku dan mulut atau gigi perlu mendapat perhatian perawatan karena semua itu akan mempengaruhi kesehatan klien lanjut usia.
Perawat perlu mengadakan pemeriksaan kesehatan, hal ini harus dilakukan kepada klien lanjut usia yang diduga menderita penyakit tertentu atau secara berkala bila memperlihatkan kelainan, misalnya: batuk, pilek, dsb. Perawat perlu memberikan penjelasan dan penyuluhan kesehatan, jika ada keluhan insomnia, harus dicari penyebabnya, kemudian mengkomunikasikan dengan mereka tentang cara pemecahannya. Perawat harus mendekatkan diri dengan klien lanjut usia membimbing dengan sabar dan ramah, sambil bertanya apa keluhan yang dirasakan, bagaimana tentang tidur, makan, apakah obat sudah dimminum, apakah mereka bisa melaksanakan ibadah dsb. Sentuhan (misalnya genggaman tangan) terkadang sangat berarti buat mereka.
  1. Pendekatan psikis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter , interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip ” Tripple”, yaitu sabar, simpatik dan service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih sayang dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan.. Untuk itu perawat harus selalu menciptakan suasana yang aman , tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa , rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya.
Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena bersama dengan semakin lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan , perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan . Harus diingat kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara perlahan –lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia.
  1. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain
Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan.
Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Panti Werda.
  1. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnua dalam kedaan sakit atau mendeteksikematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian, DR. Tony styobuhi mengemukakn bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam factor, seperti ketidak pastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi bengan keluatga dan lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun kelurga tadi di tinggalkan , masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.
Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
  1. C. Tujuan Asuhan Keperawatan Lanjut Usia
Agar lanjut usia dapat melaukan kegiatan sehari –hari secara mandiri dengan:
  1. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan dari mereka yang usianya telah lanjut dengan jalan perawatan dan pencegahan.
  2. Membantu mempertahankan serta membesarkan daya hidup atau semangat hidup klien lanjut usia (life support)
  3. menolong dan merawat klien lanjut usia yang menderita penyakit atau gangguan baik kronis maupun akut.
  4. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnosa yang tepat dan dini, bila mereka menjumpai kelainan tertentu
  5. Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para klien lanjut usia yang menderita suatu penyakit, masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu pertolongan (memelihara kemandirian secara maksimal).
  1. D. Fokus Keperawatan Lanjut Usia
Keperawatan lanjut usia berfokus pada :
  1. Peningkatan kesehatan (helth promotion)
  2. Pencegahan penyakit (preventif)
  3. Mengoptimalkan fungsi mental
  4. Mengatasi gangguan kesehatan yang umum.
  1. E. Diagnosa Keperawatan
    1. Aspek fisik atau biologis
      1. Dx : Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak mampu dalam memasukkan, memasukan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena factor biologi.
NOC I : Status nutrisi
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien diharapkan mampu:
  1. Asupan nutrisi tidak bermasalah
  2. Asupan makanan dan cairan tidak bermasalah
  3. Energy tdak bermasalah
  4. Berat badan ideal
NIC I : Manajemen ketidakteraturan makan (eating disorder management)
  1. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan untuk memuat perencanaan perawatan jika sesuai.
  2. Diskusikan dengan tim dan pasien untuk membuat target berat badann, jika berat badan pasien tdak sesuia dengan usia dan bentuk tubuh.
  3. Diskusikan dengan ahli gizi untuk menentukan asupan kalori setiap hari supaya mencapai dan atau mempertahankan berat badan sesuai target.
  4. Ajarkan dan kuatkan konsep nutrisi yang baik pada pasien
  5. Kembangkan hubungan suportif dengna pasien
  6. Dorong pasien untuk memonitor diri sendiri terhadap asupan makanan dan kenaikan atau pemeliharaan berat badan
  7. Gunakan teknik modifikasi tingkah laku untuk meningkatkan berat badan dan untuk menimimalkan berat badan.
  8. Berikan pujian atas peningkatan berat badan dan tingkah laku yang mendukung peningkatan berat badan.
b        Dx. Gangguan pola tidur berhubungan dengan insomnia dalam waktu lama, terbangun lebih awal atau terlambat bangun dan penurunan kemampuan fungsi yng ditandai dengan penuaan perubahan pola tidur dan cemas
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 jam pasien diharapkan dapat memperbaiki pola tidurnya dengan criteria :
1        Mengatur jumlah jam tidurnya
2        Tidur secara rutin
3        Miningkatkan pola tidur
4        Meningkatkan kualitas tidur
5        Tidak ada gangguan tidur
NIC : Peningkatan Tidur
1        Tetapkan pola kegiatan dan tidur pasien
2        Monitor pola tidur pasien dan jumlah jam tidurnya
3        Jelaskan pentingnya tidur selama sakit dan stress fisik
4        Bantu pasien untuk menghilangkan situasi stress sebelum jam tidurnya
c         Dx. Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan keterbatasan   neuromuskular yang ditandai dengan waktu yang diperlukan ke toilet melebihi waktu untuk menahan pengosongan bladder dan tidak mampu mengontrol pengosongan.
NOC            : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3×24 jam diharapkan pasien mampu :
1        Kontinensia Urin
2        Merespon dengan cepat keinginan buang air kecil (BAK).
3        Mampu mencapai toilet dan mengeluarkan urin secara tepat waktu.
4        Mengosongkan bladde dengan lengkap.
5        Mampu memprediksi pengeluaran urin.
NIC  : Perawatan Inkontinensia Urin
1        Monitor eliminasi urin
2        Bantu klien mengembangkan sensasi keinginan BAK.
3        Modifikasi baju dan lingkungan untuk memudahkan klien ke toilet.
4        Instruksikan pasien untuk mengonsumsi air minum sebanyak 1500 cc/hari.
d        Dx. Gangguan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran atau kerusakan memori sekunder
NOC : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2×24 jam pasien diharapkan dapat meningkatkan daya ingat dengan criteria :
1        Mengingat dengan segera informasi yang tepat
2        Mengingat inormasi yang baru saja disampaikan
3        Mengingat informasi yang sudah lalu
NIC : Latihan Daya Ingat
1        Diskusi dengan pasien dan keluarga beberapa masalah ingatan
2        Rangsang ingatan dengan mengulang pemikiran pasien kemarin dengan cepat
3        Mengenangkan tentang pengalaman di masalalu dengan pasien
e         Dx. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh/fungsi yang ditandai dengan perubahan dalam mencapai kepuasan seksual.
TUJUAN
NOC            : Fungsi Seksual
1        Mengekspresikan kenyamanan
2        Mengekspresikan kepercayaan diri
NIC  : Konseling Seksual
1        Bantu pasien untuk mengekspresikan perubahan fungsi tubuh termasuk organ seksual seiring dengan bertambahnya usia.
2        Diskusikan beberapa pilihan agar dicapai kenyamanan.
f         Dx. Kelemahan mobilitas fisik b.d kerusakan musculoskeletal dan neuromuscular
Yang ditandai dengan :
1        Perubahan gaya berjalan
2        Gerak lambat
3        Gerak menyebabkan tremor
4        Usaha yang kuat untuk perubahan gerak
NOC : Level Mobilitas ( Mobility Level )
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat :
1        Memposisikan penampilan tubuh
2        Ambulasi : berjalan
3        Menggerakan otot
4        Menyambung gerakan/mengkolaborasikan gerakan
NIC :  Latihan dengan Terapi Gerakan ( Exercise Therapy Ambulation )
1        Kosultasi kepada pemberi terapi fisik mengenai rencana gerakan yang sesuai dengan kebutuhan
2        Dorong untuk bergerak secara bebas namun masih dalam batas yang aman
3        Gunakan alat bantu untuk bergerak, jika tidak kuat untuk berdiri (mudah goyah/tidak kokoh)
g        Dx. Kelelahan b.d kondisi fisik kurang
Yang ditandai dengan:
1        Peningkatan kebutuhan istirahat
2        Lelah
3        Penampilan menurun
NOC Activity Tolerance
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat:
1        Memonitor  usaha bernapas dalam respon aktivitas
2        Melaporkan aktivitas harian
3        Memonitor ECG dalam batas normal
4        Memonitor warna kulit
NIC Energy Management
1        Monitor intake nutrisi untuk memastikan sumber energi yang adekuat
2        Tentukan keterbatasan fisik pasien
3        Tentukan penyebab kelelahan
4        Bantu pasien untuk jadwal  istirahat
h        Dx. Risiko kerusakan integritas kulit
NOC : Kontrol Risiko ( risk control )
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat :
1        Kontrol perubahan status kesehatan
2        Gunakan support system pribadi untuk mengontrol risiko
3        Mengenal perubahan status kesehatan
4        Monitor factor risiko yang berasal dari lingkungan
NIC : penjagaan terhadap kulit ( skin surveillance )
1        Monitor area kulit yang terlihat kemerahan dan adanya kerusakan
2        Monitor kulit yang sering mendapat tekanan dan gesekan
3        Monitor warna kulit
4        Monitor suhu kulit
5        Periksa pakaian, jika pakaian terlihat terlalu ketat
  1. Dx. Kerusakan Memori b.d  gangguan neurologis
Yang ditandai dengan :
1        Tidak mampu mengingat informasi factual
2        Tidak mampu mengingat kejadian yang baru saja terjadi atau masa lampau
3        Lupa dalam melaporkan atau menunjukkan pengalaman
4        Tidak mampu belajar atau menyimpan keterampilan atau informasi baru
NOC : Orientasi Kognitif
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat :
1        Mengenal diri sendiri
2        Mengenal orang atau hal penting
3        Mengenal tempatnya sekarang
4        Mengenal hari, bulan, dan tahun dengan benar
NIC : Pelatihan Memori ( Memory Training )
1        Stimulasi memory dengan mengulangi pembicaraan secara jelas di akhir pertemuan dengan pasien.
2        Mengenang pengalaman masa lalu dengan pasien.
3        Menyediakan gambar untuk mengenal ingatannya kembali
4        Monitor perilaku pasien selama terapi
  1. Aspek psikososial
    1. Dx. Coping tidak efektif b.d percaya diri tidak adekuat dalam kemampuan koping, dukungan social tidak adekuat yang dibentuk dari karakteristik atau hubungan.
NOC I : koping (coping)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien secara konsisten diharapkan mampu:
  1. Mengidentifikasi pola koping efektif
  2. Mengedentifikasi pola koping yang tidak efektif
  3. Melaporkan penurunan stress
  4. Memverbalkan control perasaan
  5. Memodifikasi gaya hidup yang dibutuhkan
  6. Beradaptasi dengan perubahan perkembangan
  7. Menggunakan dukungan social yang tersedia
  8. Melaporkan peningkatan kenyamanan psikologis
NIC I : coping enhancement
  1. Dorong aktifitas social dan komunitas
  2. Dorong pasien untuk mengembangkan hubungan
  3. Dorong berhubungan dengan seseorang yang memiliki tujuan dan ketertarikan yang sama
  4. Dukung pasein untuk menguunakan mekanisme pertahanan yang sesuai.
  5. Kenalkan pasien kepada seseorang yang mempunyai latar belakang pengalaman yang sama.
  6. Dx. Isolasi social b.d perubhaan penampilan fisik, peubahan keadaan sejahtera, perubahan status mental.
NOC I : Lingkungan keluarga : internal ( family environment: interna)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien secara konsisten diharapkan mampu:
  1. Berpatisipasi dalam aktifitas bersama
  2. Berpatisipasi dala tradisi keluarga
  3. Menerima kujungan dari teman dan  anggota keluarga besar
  4. Memberikan dukungan satu sama lain
  5. Mengekspresikan perasaan dan masalah kepada yang lain.
  6. Mendorong anggota keluarga untuk tidak ketergantungan
  7. Berpatisipasi dalam rekreasi dan acara aktifitas komunitas
  8. Memecahkan masalah
NIC I : Keterlibatan keluarga (Family involvement)
  1. Mengidentifikasikan kemampuan anggota keluarga untuk terlibat dalam perawatan pasien.
  2. Menentukan sumber fisik, psikososial dan pendidikan pemberi pelayanan kesehatan yang utama.
  3. Mengidentifkasi deficit perawatan diri pasien
  4. Menentukan tinggat ketergantungan pasien terhadap keluarganya  yang sesuai dengan umur atau penyakitnya.
  5. Dx. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
NOC :
Setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 2×24 jam pasien diharapkan akan bisa memperbaiki konsep diri dengan criteria :
  1. Mengidentifikasi pola koping terdahulu yang efektif dan pada saat ini tidak mungkin lagi digunakan akibat penyakit dan penanganan (pemakaian alkohol dan obat-obatan; penggunaan tenaga yang berlebihan)
  2. Pasien dan keluarga mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan dan reaksinya terhadap penyakit dan perubahan hidup yang diperlukan
  3. Mencari konseling profesional, jika perlu, untuk menghadapi perubahan akibat pnyakitnya
  4. Melaporkan kepuasan dengan metode ekspresi seksual
NIC : Peningkatan harga diri
  1. Kuatkan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien mengndalikan situasi
  2. Menguatkan tenaga pribadi dalam mengenal dirinya
  3. Bantu pasien untuk memeriksa kembali persepsi negative tentang dirinya
  4. Dx. Cemas b.d perubahan dalam status peran, status kesehatan, pola interaksi , fungsi peran, lingkungan, status ekonomi
Yang ditandai dengan:
  1. Ekspresi yang mendalam dalam perubahan hidup
  2. Mudah tersinggung
  3. Gangguan tidur
NOC  Anxiety Control
  1. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat:
  2. Memonitor  intensitas  cemas
  3. Melaporkan tidur  yang adekuat
  4. Mengontrol respon cemas
  5. Merencanakan strategi koping dalamsituasi stress
NIC  Anxiety Reduction
  1. Bantu pasien untuk menidentifikasi situasi percepatan cemas
  2. Dampingi pasien untuk mempromosikan kenyamanan dan mengurangi ketakutan
  3. Identifikasi ketika perubahan level cemas
  4. Instuksikan pasien dalam teknik relaksasi
  5. Dx. Resiko Kesendirian
NOC Family Coping
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2X24 jam diharapkan pasien dapat:
  1. Mendemontrasikan fleksibelitas peran
  2. Mengatur masalah
  3. Menggunakan strategi penguranagn stress
  4. Menghadapi masalah
NIC  Family Support
  1. Bantu pekembangan harapan yang realistis
  2. Identifikasi alami dukungan spiritual  bagi keluarga
  3. Berikan kepercayaan  dalam hubungan dengan keluarga
  4. Dengarkan untuk berhubungan dengan keluarga, perasan dan pertanyaan
  5. Dx. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik (ketidakseimbangan mobilitas) serta psikologis yang disebabkan penyakit atau terapi
NOC : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2x24jam pasien diharapkan meningkatkan citra tubuhnya dengan criteria :
  1. Merasa puas dengan penampilan tubuhnya
  2. Merasa puas dengan fungsi anggota badannya
  3. Mendiskripsikan bagian tubuh tambahan
NIC : Peningkatan Citra Tubuh
  1. Bantu pasien untuk mendiskusikan perubahan karena penyakit atau pembedahan
  2. Memutuskan apakah perubahan fisik yang baru saja diterima dapat masuk dalam citra tubuh pasien
  3. Memudahkan hubungan dengan individu lain yang mempunyai penyakit yang sama
  4. Aspek spiritual
Dx : Distress spiritual b.d peubahan hidup, kematian atau sekarat diri atau orang lain, cemas, mengasingkan diri, kesendirian atau pengasingan social, kurang sosiokultural.
NOC I : pengaharapan (hope)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3X24 jam pasien secara luas diharapkan mampu:
  1. Mengekspresikan orientasi masa depan yang positif
  2. Mengekspresikan arti kehidupan
  3. Mengekspresikan rasa optimis
  4. Mengekspresikan perasaan untuk mengontrol diri sendiri
  5. Mengekspresikan kepercayaan
  6. Mengekspresikan rasa percaya pada diri sendiri dan orang lain
NIC I : penanaman harapan (hope instillation)
  1. Pengkaji pasian atau keluarga untuk mengidentifikasi area pengharapan dalam hidup
  2. Melibatkan pasien secara aktif dalam perawatan diri
  3. Mengajarkan keluarga tentang aspek positif pengharapan
  4. Memberikan kesempatan pasien atau keluarga terlibat dalam support group.
  5. Mengembangkan mekanisme paran koping pasien
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. http://askep- askeb.cz.cc/ diakses tanggal 10 maret 2010.
Jhonson, Marion dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc.
McCloskey, Joanne C. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc.

15/02/12

kata pengantar


KATA PENGANTAR
BISMIL
                     

12/02/12

ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA NEONATORUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Konsep Medis
1.    Pengertian

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan (Noname: Online).

Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan 28 hari,dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim.

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Prawirohardjo: 1991).

Asfiksia ini dapat terjadi karena hipoksia kronik dalam uetrus menyebabkan tersedianya sedikit energi untuk dapat memenuhi kebutuhan pada saat persalinan dan kelahiran. Sehingga, asfiksia intra uterin dapat terjadi, dengan masalah sitemik yang mungkin terjadi. (Ladewig dkk: 2006).

Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera stelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan asfiksia ini dapat terjadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya asfiksia neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, atau dapat terjadi segera setelah lahir. Banyak faktor yang menyebabkannya, diantaranya adanya penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, paru, gangguan kontraksi uterus pada ibu, resiko tinggi kehamilan, dapat terjadi pada faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga faktor janin itu sendiri. ( Hidayat, 2005).

2.      Etiologi

Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.

Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut ini:
1.      Faktor ibu
a.      Preeklampsia dan eklampsia
b.      Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c.       Partus lama atau partus macet
d.     Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
e.      Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2.      Faktor Tali Pusat
a.      Lilitan tali pusat
b.      Tali pusat pendek
c.       Simpul tali pusat
d.     Prolapsus tali pusat
3.      Faktor Bayi
a.      Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b.      Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
(Anonim: Online)

Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena pertukaran gas serta transfer O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita oleh ibu dalam persalinan.

Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Pada keadaan terakhir ini pengaruh terhadap janin disebabkan oleh gangguan oksigenasi serta kekurangan pemberian zat-zat makanan berhubungan dengan gangguan fungsi plasenta. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi dengan melakukan pemeriksaan antenatal yang sempurna, sehingga perbaikan sedini-dininya dapat diusahakan.

Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hampir selalu mengakibatkan hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia bayi. Keadaan ini perlu dikenal, agar dapat dilakukan persiapan yang sempurna pada saat bayi lahir. Faktor-faktor yang mendadak ini terdiri atas:
1.      Faktor dari pihak janin seperti:
a.      Gangguan aliran darah pada tali pusat karena tekanan tali pusat
b.      Depresi pernafasan karena obat-obat anastesia atau analgetik yang diberikan kepada ibu, perdarahan intrakranial, dan kelainan bawaan.
2.      Faktor dari pihak ibu seperti:
a.      Gangguan his, misalnya hipertoni dan tetani
b.      Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, misalnya pada plasenta previa
c.       Hipertensi pada eklampsia
d.     Gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta.
(Prawirohardjo:1991)

Penyebab asfiksia Stright (2004) :
1.      Faktor ibu, meliputi amnionitis, anemia, diabetes, hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan, obat-obatan infeksi.
2.      Faktor uterus, meliputi persalinan lama, persentasi janin abnormal.
3.      Faktor plasenta, meliputi plasenta previa, solusio plasenta, insufisiensi plasenta.
4.      Faktor umbilikal, meliputi prolaps tali pusat, lilitan tali pusat.
5.      Faktor janin, meliputi disproporsi sefalopelvis, kelainan kongenital, kesulitan kelahiran.

Sedangkan penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1.      Asfiksia dalam kehamilan
a.      Penyakit infeksi akut
b.      Penyakit infeksi kronik
c.       Keracunan oleh obat-obat bius
d.     Uraemia dan toksemia gravidarum
e.      Anemia berat
f.        Cacat bawaan
g.      Trauma
2.      Asfiksia dalam persalinan
a.      Kekurangan O2.
-       Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
-       Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah ke uteri.
-       Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
-       Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul.
-       Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
-       Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
-       Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.
b.      Paralisis pusat pernafasan
-       Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps
-       Trauma dari dalam : akibat obet bius.

3.      Patofisiologi

Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia. (Anonim: Online).

Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang.

Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flascid).

Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai segera. (Anonim: Online).

4.      Klasifikasi

Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR:
1.      Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
2.      Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
3.      Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4.      Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Dilakukan pemantauan nilai APGAR pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai APGAR 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai APGAR berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis (bukan 1 menit seperti penilaian skor APGAR).

5.      Penilaian APGAR Score

Penilaian menurut score APGAR merupakan tes sederhana untuk memutuskan apakah seorang bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan. Tes ini dapat dilakukan dengan mengamati bayi segera setelah lahir (dalam menit pertama), dan setelah 5 menit. Lakukan hal ini dengan cepat, karena jika nilainya rendah, berarti bayi tersebut membutuhkan tindakan.

Observasi dan periksa :
A = “Appearance” (penampakan) perhatikan warna tubuh bayi.
P = “Pulse” (denyut). Dengarkan denyut jantung bayi dengan stetoskop atau palpasi denyut jantung dengan jari.
G = “Grimace” (seringai). Gosok berulang-ulang dasar tumit ke dua tumit kaki bayi dengan jari. Perhaitkan reaksi pada mukanya. Atau perhatikan reaksinya ketika lender pada mukanya. Atau perhatikan reaksinya ketika lender dari mulut dan tenggorokannya dihisap.
A = “Activity”. Perhatikan cara bayi yang baru lahir menggerakkan kaki dan tangannya atau tarik salah satu tangan/kakinya. Perhatikan bagaimana kedua tangan dan kakinya bergerak sebagai reaksi terhadap rangsangan tersebut.
R = “Repiration” (pernapasan). Perhatikan dada dan abdomen bayi. Perhatikan pernapasannya.

TANDA
0
1
2
JUMLAH NILAI
Frekwensi jantung
Tidak ada
Kurang dari 100 x/menit
Lebih dari 100 x/menit

Usaha bernafas
Tidak ada
Lambat, tidak teratur
Menangis kuat

Tonus otot
Lumpuh / lemas
Ekstremitas fleksi sedikit
Gerakan aktif

Refleks
Tidak ada respon
Gerakan sedikit
Menangis batuk

Warna
Biru/ pucat
Tubuh: kemerahan, ekstremitas: biru
Tubuh dan ekstremitas kemerahan


Apgar Skor : 7-10; bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
Apgar Skor 4-6; (Asfiksia Neonatorum sedang); pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekwensi jantung lebih dari 100 X / menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
Apgar Skor 0-3 (Asfiksia Neonatorum berat); pada pemeriksaan fisik ditemukan frekwensi jantung kurang dari 100 X / menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.
6.      Manifestasi Klinis

1.      Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
a.      Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
b.      Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
c.       Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
2.      Pada bayi setelah lahir
a.      Bayi pucat dan kebiru-biruan
b.      Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c.       Hipoksia
d.     Asidosis metabolik atau respiratori
e.      Perubahan fungsi jantung
f.        Kegagalan sistem multiorgan
g.      Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik : kejang, nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
(Anonim : online)
7.      Komplikasi

Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1.      Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
2.      Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
3.      Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
4.      Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.

8.      Pemeriksaan Diagnostik

Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu :
1.      Denyut jantung janin
Frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan/menit, selama his frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah 100 kali permenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardigraf janin digunakan untuk terus-menerus menghadapi keadaan denyut jantung dalam persalinan.

2.      Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.

3.      Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh (sampel) darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia. (Prawirohardjo: 1991)

Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosis adanya asfiksia pada bayi (pemeriksaan diagnostik) yaitu:
1.      Analisa gas darah
2.      Elektrolit darah
3.      Gula darah
4.      Berat bayi
5.      USG ( Kepala )
6.      Penilaian APGAR score
7.      Pemeriksaan EGC dab CT- Scan

9.      Pemeriksaan Penunjang

a.      Foto polos dada
b.      USG kepala
c.       Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit

10.  Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir

Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu :
1.      Memastikan saluran terbuka
a.      Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
b.      Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
c.       Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan terbuka.
2.      Memulai pernafasan
a.      Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
b.      Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3.      Mempertahankan sirkulasi
a.      Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara:
b.      Kompresi dada.
c.       Pengobatan

11.  Tindakan Resusitasi

a.      Detail Cara Resusitasi
Langkah-Langkah Resusitasi, sebagai berikut:
1.      Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
2.      Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar.
3.      Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
4.      Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih kemudian lanjutkan ke hidung.
5.      Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap punggung bayi.
6.      Nilai pernafasan. Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah / sinosis perifer, lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
ü  Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
ü  Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulut ke mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x / menit.
ü  Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. Bila:
·      100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
·      60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
·      60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai kompresi jantung.
·      <10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.

Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1. Ada 2 cara kompresi jantung yaitu:
1.      Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh bayi.
2.      Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang tubuh bayi.
7.      Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
8.      Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
9.      Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 : 10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara I.V.
10.  Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat.
11.  Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas tiap 3 – 5 menit.
12.  Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak respon terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007)

b.     Persiapan resusitasi

Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
a.      Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirnya bayi dengan depresi dapat terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
b.      Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan minumum antara lain :
1)      Alat pemanas siap pakai – Oksigen
2)      Alat pengisap
3)      Alat sungkup dan balon resusitasi
4)      Alat intubasi
5)      Obat-obatan
c.       Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
1)      Tenaga kesehatan yang siap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
2)      Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
3)      Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai suatu tim yang terkoordinasi.
4)      Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
5)      Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia dan siap pakai.

12.  Penatalaksanaan

1.      Resusitasi
a.      Tahapan resusitasi tidak melihat nilai APGAR.
b.      Terapi medikamentosa :
2.      Epinefrin
Indikasi :
a.      Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada.
b.      Asistolik.
Dosis : 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB)
Cara : i.v atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.

3.      Volume ekspander
Indikasi :
a.      Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi.
b.      Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
1)      Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
2)      Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.
Dosis : dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.

4.      Bikarbonat
Indikasi :
a.      Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
b.      Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis: 1-2 mEq/kgBB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kgBB (8,4%)
Cara :
Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.

5.      Nalokson
Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil.
Indikasi :
a.      Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan.
b.      Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi.
Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan I.M atau S.C.

6.      Suportif
a.      Jaga kehangatan.
b.      Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
c.       Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit).


BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA NEONATORUM
CONTOH KASUS :
Ny. A melahirkan bayi laki-laki di RS. Propinsi pada tanggal 27 Mei 2011 pukul 08.10. Ketuban pecah pada pukul 08.00, tidak bercampur mekonium. Keadaan bayi waktu lahir bernapas megap-megap atau sesak. Setelah dilakukan tindakan resusitasi bayi pada menit pertama setelah bayi lahir, keadaan bayi masih sama. Bayi bergerak/berespon sedikit ketika diberi rangsangan dan dinilai dada tidak berkembang maksimal. Terdapat cairan atau secret pada hidung dan mulut bayi. Warna kulit bayi tampak biru (sianosis), bayi tampak lemas, tonus otot kurang (ekstremitas sedikit fleksi), dan ada tarikan dinding dada. Penilaian APGAR skor = 4 dan TTV:
TD  : Tidak diukur                      R : 33 x / menit
N    : 90 x / menit                        S  : 36,6 ◦c
Diagnosa Medik : Asfiksia Neonatorum.

A.    PENGKAJIAN

1.      Biodata
a.      Identitas anak
Nama                               :  An. H
Umur / Tgl Lahir            :  - / 27 Mei 2011
Jenis Kelamin                 :  Laki-laki
Agama                             :  Islam
Anak Ke                           :  3 ( Ketiga )
Jumlah saudara                          :  3 orang
b.      Identitas Orang Tua
Ø  Ayah
Nama ayah                :           Tn. H
Umur                          :           38 Tahun
Agama                        :           Islam
Suku                           :           Buton
Pendidikan                :           SMA
Pekerjaan                   :           Anggota Polri
Ø  Ibu
Nama ibu                   :           Ny. H
Umur                          :           35 tahun
Pendidikan                :           SMA
Pekerjaan                   :           Swata
Alamat                       :           Jl. Nasution

2.      Keluhan Utama :
Sesak Napas (napas megap-megap)

3.      Riwayat Kehamilan dan Persalinan
a.      Kehamilan
o  Klien mengalami DM sewaktu hamil ( DM gestasional).
o  Tempat periksa kehamilan RS. Propinsi
o  Frekuensi periksa kehamilan sebanyak 3 kali.
b.      Persalinan
o  Adanya tanda-tanda gawat janin ( DDJ < 120x / menit, berkurangnya gerakan janin selama kala I persalinan).