24/02/12

perumusan permasalahan

Perumusan permasalahan—1
PERUMUSAN
PERMASALAHAN
Daftar Acuan:
Buckley, J. W.; M. H. Buckley; dan Hung-Fu Chiang. 1976. Research Methodology & Business
Decisions. National Association of Accountant, New York
Castetter, W. B.; dan R. S. Heisler. 1984. Developing and Defending A Disertation Proposal. Graduate
School of Education, University of Pennsylvania, Philadelphia, Pennsylvania.
Leedy, Paul D. 1997. Practical Research: Planning and Design. Sixth Edition. Prectice Hall, Upper
Saddle River, New Jersey. Chapter 5: “Planning Your Research Design”, hal. 93-121.
Sumiarto. 1985. Evaluasi Program Perintisan Pemugaran Perumahan Desa di Daerah Istimewa
Yogyakarta,. Tesis Pasca Sarjana Strata II, Program Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas
Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Sutrisno, Hadi. 1986. Pokok – pokok Metodologi Penelitian. Makalah yang tidak dipublikasikan,
tertanggal 14 Desember 1986, ditulis di Yogyakarta.
Digabung, diterjemahkan, disingkat dan dimodifikasi untuk kepentingan kuliah Metodologi Penelitian di
tingkat program pascasarjana oleh:
Achmad Djunaedi (2000).
Daftar Isi Bab ini: Halaman:
Penemuan permasalahan 2
Cara-cara formal penemuan permasalahan 3
Cara-cara informal penemuan permasalahan 4
Pengecekan hasil penemuan permasalahan 5
Perumusan permasalahan 6
Bentuk rumusan permasalahan 7
Karakteristik rincian permasalahan 8
Contoh rumusan permasalahan 8
Keterkaitan antara rumusan permasalahan dengan
hipotesis dan temuan penelitian 9
etelah peneliti menentukan bidang penelitian (problem area) yang diminatinya, kegiatan
berikutnya adalah menemukan permasalahan (problem finding atau problem generation).
Penemuan permasalahan merupakan salah satu tahap penting dalam penelitian. Situasinya
jelas: bila permasalahan tidak ditemukan, maka penelitian tidak perlu dilakukan. Pentingnya
penemuan permasalahan juga dinyatakkan oleh ungkapan: “Berhasilnya perumusan
permasalahan merupakan setengah dari pekerjaan penelitian”. Penemuan permasalahan juga
S
2— Perumusan permasalahan
merupakan tes bagi suatu bidang ilmu; seperti diungkapkan oleh Mario Bunge (dalam :
Buckley dkk., 1976, 14) dengan pernyataan: “Kriteria terbaik untuk menjajagi apakah
suatu disiplin ilmu masih hidup atau tidak adalah dengan memastikan apakah bidang ilmu
tersebut masih mampu menghasilkan permasalahan . . . . Tidak satupun permasalahan akan
tercetus dari bidang ilmu yang sudah mati”.
Permasalahan yang ditemukan, selanjutnya perlu dirumuskan ke dalam suatu
pernyataan (problem statement). Dengan demikian, pembahasan isi bab ini akan dibagi
menjadi dua bagian: (1) penemuan permasalahan, dan (2) perumusan permasalahan.
Penemuan Permasalahan
Kegiatan untuk menemukan permasalahan biasanya didukung oleh survai ke
perpustakaan untuk menjajagi perkembangan pengetahuan dalam bidang yang akan diteliti,
terutama yang diduga mengandung permasalahan. Perlu dimengerti, dalam hal ini, bahwa
publikasi berbentuk buku bukanlah informasi yang terbaru karena penerbitan buku
merupakan proses yang memakan waktu cukup lama, sehingga buku yang terbit—misalnya
hari ini—ditulis sekitar satu atau dua tahun yang lalu. Perkembangan pengetahuan terakhir
biasanya dipublikasikan sebagai artikel dalam majalah ilmiah; sehingga suatu (usulan)
penelitian sebaiknya banyak mengandung bahasan tentang artikel-artikel (terbaru) dari
majalah-majalah (jurnal) ilmiah bidang yang diteliti.
Kegiatan penemuan permasalahan, seperti telah disinggung di atas, didukung oleh
survai ke perpustakaan untuk mengenali perkembangan bidang yang diteliti. Pengenalan ini
akan menjadi bahan utama deskripsi “latar belakang permasalahan” dalam usulan penelitian.
Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan harapan,
antara tren perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara kenyataan dengan ide.
Sutrisno Hadi (1986, 3) mengidentifikasikan permasalahan sebagai perwujudan “ketiadaan,
kelangkaan, ketimpangan, ketertinggalan, kejanggalan, ketidakserasian, kemerosotan dan
semacamnya”.
Seorang peneliti yang berpengalaman akan mudah menemukan permasalahan dari
bidang yang ditekuninya; dan seringkali peneliti tersebut menemukan permasalahan secara
“naluriah”; tidak dapat menjelaskan bagaimana cara menemukannya. Cara-cara
menemukan permasalahan ini, telah diamati oleh Buckley dkk. (1976) yang menjelaskan
bahwa penemuan permasalahan dapat dilakukan secara “formal’ maupun ‘informal’. Cara
formal melibatkkan prosedur yang menuruti metodologi tertentu, sedangkan cara informal
bersifat subjektif dan tidak “rutin”. Dengan demikian, cara formal lebih baik kualitasnya
dibanding cara informal. Rincia n cara-cara yang diusulkan Buckley dkk. dalam kelompol
formal dan informal terlihat pada gambar di bawah ini.
Perumusan permasalahan—3
Gambar Perm-1: Beberapa cara penemuan permasalahan
(Sumber: Buckley dkk.(1976: 5)
Bukley dkk., (1976:16-27) menjelaskan cara-cara penemuan permasalahan—baik formal
maupun informal—sebagai diuraikan di bagian berikut ini. Setelah permasalahan ditemukan,
kemudian perlu dilakukan pengecekan atau evaluasi terhadap permasalahan tersebut—
sebelum dilakukan perumusan permasalahan.
Cara-cara Formal Penemuan Permasalahan
Cara-cara formal (menurut metodologi penelitian) dalam rangka menemukan
permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Rekomendasi suatu riset. Biasanya, suatu laporan penelitian pada bab terakhir
memuat kesimpulan dan saran. Saran (rekomendasi) umumnya menunjukan
kemungkinan penelitian lanjutan atau penelitian lain yang berkaitan dengan kesimpulan
yang dihasilkan. Saran ini dapat dikaji sebagai arah untuk menemukan permasalahan.
2) Analogi adalah suatu cara penemuan permasalahan dengan cara “mengambil”
pengetahuan dari bidang ilmu lain dan menerapkannya ke bidang yang diteliti. Dalam
hal ini, dipersyaratkan bahwa kedua bidang tersebut haruslah sesuai dalam tiap hal-hal
yang penting. Contoh permasalahan yang ditemukan dengan cara analogi ini, misalnya:
“apakah Proses perancangan perangkat lunak komputer dapat diterapkan pada
proses perancangan arsitektural” (seperti diketahui perencanaan perusahaan dan
Formal
Rekomendasi suatu riset
Analogi
Renovasi
Dialektik
Ekstrapolasi
Morfologi
Dekomposisi
Agregasi
Informal
Konjektur
Fenomenologi
Konsensus
Pengalaman
Pernyataan permasalahan
PENEMUAN PERMASALAHAN PERUMUSAN
PERMASALAHAN
4— Perumusan permasalahan
perencanaan arsitektural mempunyai kesamaan dalam hal sifat pembuatan
keputusannya yang Judgmental).
3) Renovasi. Cara renovasi dapat dipakai untuk mengganti komponen yang tidak
cocok lagi dari suatu teori. Tujuan cara ini adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kemantapan suatu teori. Misal suatu teori menyatakan “ada korelasi
yang signifikan antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam
perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya” dapat direnovasi
menjadi permasalahan “seberapa korelasi antara arah pengembangan bangunan
rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal
penghuninya dengan tingkat pendidikan penghuni yang berbeda”. Dalam contoh di
atas, kondisi yang “umum” diganti dengan kondisi tingkat pendidikan yang berbeda.
4) Dialektik, dalam hal ini, berarti tandingan atau sanggahan. Dengan cara dialektik,
peneliti dapat mengusulkan untuk menghasilkan suatu teori yang merupakan tandingan
atau sanggahan terhadap teori yang sudah ada.
5) Ekstrapolasi adalah cara untuk menemukan permasalahan dengan membuat tren
(trend) suatu teori atau tren permasalahan yang dihadapi.
6) Morfologi adalah suatu cara untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan kombinasi
yang terkandung dalam suatu permasalahan yang rumit, kompleks.
7) Dekomposisi merupakan cara penjabaran (pemerincian) suatu pemasalahan ke
dalam komponen-komponennya.
8) Agregasi merupakan kebalikan dari dekomposisi. Dengan cara agregasi, peneliti
dapat mengambil hasil-hasil peneliti atau teori dari beberapa bidang (beberapa
penelitian) dan “mengumpulkannya” untuk membentuk suatu permasalah yang lebih
rumit, kompleks.
Cara-cara Informal Penemuan Permasalahan
Cara-cara informal (subyektif) dalam rangka menemukan permasalahan dapat
dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Konjektur (naluriah). Seringkali permasalahan dapat ditemukan secara konjektur
(naluriah), tanpa dasar-dasar yang jelas. Bila kemudian, dasar-dasar atau latar
belakang permasalahan dapat dijelaskan, maka penelitian dapat diteruskan secara
alamiah. Perlu dimengerti bahwa naluri merupakan fakta apresiasi individu terhadap
lingkungannya. Naluri, menurut Buckley, dkk., (1976, 19), merupakan alat yang
berguna dalam proses penemuan permasalahan.
2) Fenomenologi. Banyak permasalahan baru dapat ditemukan berkaitan dengan
fenomena (kejadian, perkembangan) yang dapat diamati. Misal: fenomena pemakaian
komputer sebagai alat bantu analisis dapat dikaitkan untuk mencetuskan
Perumusan permasalahan—5
permasalahan – misal: seperti apakah pola dasar pendaya – gunaan komputer dalam
proses perancangan arsitektural.
3) Konsensus juga merupakan sumber untuk mencetuskan permasalahan. Misal,
terdapat konsensus bahwa kemiskinan bukan lagi masalah bagi Indonesia, tapi
kualitas lingkungan yang merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (misal hal ini
merupakan konsensus nasional).
4) Pengalaman. Tak perlu diragukan lagi, pengalaman merupakan sumber bagi
permasalahan. Pengalaman kegagalan akan mendorong dicetuskannya permasalahan
untuk menemukan penyebab kegagalan tersebut. Pengalaman keberhasilan juga akan
mendorong studi perumusan sebab-sebab keberhasilan. Umpan balik dari klien, misal,
akan mendorong penelitian untuk merumuskan komunikasi arsitek dengan klien yang
lebih baik.
Pengecekan Hasil Penemuan Permasalahan
Permasalahan yang telah ditemukan selalu perlu dicek apakah permasalahan
tersebut dapat (patut) untuk diteliti (researchable). Pengecekan ini, biasanya, didasarkan
pada tiga hal: (i) faedah, (ii) lingkup, dan (iii) kedalaman.
Pengecekan faedah ditelitinya suatu permasalahan dikaitkan dengan pengembangan
ilmu pengetahuan dan atau penerapan pada praktek (pembangunan). Ditanyakan: apakah
penelitian atas permasalahan tersebut akan berfaedah untuk ilmu pengetahuan, misal dapat
merevisi, memperluas, memperdalam pengetahuan yang ada, atau menciptakan pengetahuan
baru. Dicek pula: apakah penelitian tersebut mempunyai aplikasi teoritikal dan atau
praktikkal. Suatu penelitian agar dapat diterima oleh pemberi dana atau pemberi “nilai’
perlu mempunyai faedah yang jelas (penjelasan faedah diharapkan bukan hanya bersifat
“klise”).
Peneliti yang belum berpengalaman sering mencetuskan permasalahan yang
berlingkup terlalu luas, yang memerlukan masa penelitian yang sangat lama (di luar
jangkauan). Misal: penelitian untuk “menemukan cara terbaik pelaksanaan pembangunan
rumah tinggal” akan memerlukan waktu yang “tak terhingga” karena harus membandingkan
semua kemungkinan cara pelaksanaan pembangunan rumah tinggal. Lingkup penelitian,
biasanya, cukup sempit, tapi diteliti secara mendalam.
Faktor kedalaman penelitian juga merupakan salah satu yang perlu dicek.
Penelitian, bukan sekedar mengumpulkan data, menyusunnya dan memprosesnya untuk
mendapatkan hasil, tetapi diperlukan pula adanya interpretasi (pembahasan) atas hasil.
Penelititan perlu dapat menjawab: apa “arti” semua fakta yang terkumpul. Dengan
pengertian ini, suatu pengukuran kemiringan menara pemancar teve belum dianggap
mempunyai kedalaman yang cukup (hanya merupakan pengumpulan data dan pelaporan
hasil pengukuran). Tetapi, penelitian tentang “pengaruh kemiringan menara pemancar teve
6— Perumusan permasalahan
terhadap kualitas siaran” merupakan penelitian karena memerlukan interpretasi terhadap
persepsi pirsawan atas kualitas siaran yang dipengaruhi oleh kemiringan.
Indikasi permasalahan yang belum merupakan permasalahan penelitian ditunjukkan
oleh Leedy (1997: 46-48), yaitu:
1) yang bersifat hanya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk mengerti lebih
banyak tentang suatu topik;
2) yang jawabnya ya atau tidak;
3) pembandingan dua set data tanpa intepretasi;
4) pengukuran koefisien korelasi antara dua set data.
Perumusan Permasalahan
Sering dijumpai usulan penelitian yang memuat “latar belakang permasalahan”
secara panjang lebar tetapi tidak diakhiri (atau disusul) oleh rumusan (pernyataan)
permasalahan. Pernyataan permasalahan sebenarnya merupakan kesimpulan dari uraian
“latar belakang” tersebut. Castetter dan Heisler (1984, 11) menerangkan bahwa
pernyataan permasalahan merupakan ungkapan yang jelas tentang hal-hal yang akan
dilakukan peneliti. Cara terbaik unutk mengungkapkan pernyataan tersebut adalah dengan
pernyataan yang sederhana dan langsung, tidak berbelit-belit. Pernyataan permasalahan dari
suatu penelitian merupakan “jantung” penelitian dan berfungsi sebagai pengarah bagi semua
upaya dalam kegiatan penelitian tersebut. Pernyataan permasalahan yang jelas (tajam) akan
sanggup memberi arah (gambaran) tentang macam data yang diperlukan, cara
pengolahannya yang cocok, dan memberi batas lingkup tertentu pada temuan yang
dihasilkan.
Contoh ungkapan permasalahan yang jelas, tajam, diberikan oleh Sumiarto (1985)
yang meneliti dalam bidang perumahan pedesaan. Permasalahan yang dikemukakannya,
sebagai berikut:
“Kesimpulan yang dapat ditarik sebagai permasalahan P3D [Perintisan
Pemugaran Perumahan Desa] yang dapat memberikan arah pada studi yang
akan dilakukan adalah mempertanyakan keberhasilan dari tujuan P3D.
Secara lebih spesifik dapat dikemukakan beberapa (sub) permasalahan
sebagai berikut:
(a). Apakah setelah menerima bantuan P3D, kondisi mereka akan menjadi
lebih baik, dalam arti adanya peningkatan dalam cara bermukin yang
lebih baik serta lebih sehat?
(b). Apakah bantuan yang diberikan oleh P3D telah memberikan hasil sesuai
seperti yang diharapkan, yaitu penerima bantuan telah memberikan
Perumusan permasalahan—7
respon yang positif yang berupa tenaga, material, bahkan finansial,
sehingga lebih dari apa yang diberikan oleh P3D.
(c). Lebih jauh lagi, apakah P3D telah mampu membangkitkan efek berlifat
ganda (multiplier effect), sehingga masyarakat yang tidak meneriman
bantuan P3D terangsang secara swadata menyelenggarakan sendiri
peningkatan kondisi rumah dan lingkungannya?”
(Sumiarto 1985, 17-18)
Bentuk Rumusan Permasalahan
Contoh pernyataan permasalahan di atas mengambil bentuk satu pernyataan disusul
oleh beberapa pertanyaan. Castette dan Heisler (1984, 11) menjelaskan bahwa secara
keseluruhan ada 5 macam bentuk pernyataan permasalahan, yaitu:
(1) bentuk satu pertanyaan (question);
(2) bentuk satu pertanyaan umum disusul oleh beberapa pertanyaan yang spesifik;
(3) bentuk satu penyataan (statement) disusul oleh beberapa pertanyaan (question).
(4) bentuk hipotesis; dan
(5) bentuk pernyataan umum disusul oleh beberapa hipotesis.
Bentuk Hipotesis nampaknya jarang dipakai lagi pula, biasanya perletakan hipotesis dalam
laporan atau usulan penelitian tidak menempati posisi yang biasa ditempati oleh pernyataan
permasalahan. Hal yang lain, bentuk pertanyaan seringkali dapat diujudkan (diubah) pula
sebagai bentuk pernyataan. Dengan demikian, secara umum, hanya ada dua bentuk
pernyataan permasalahan:
(1) Bentuk satu pertanyaan atau pernyataan
Misal:
(a) Pertanyaan:
“Seberapa pengaruh tingkat penghasilan pada perubahan fisik rumah
perumahan KPR?”
“Faktor-faktor apa saja dan seberapa besar pengaruh masing-masing faktor
pada persepsi penghuni terhadap desain rumah sub–inti?”
(b) Pernyataan (biasanya diungkapkan sebagai “maksud”)
“Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa pengaruh tingkat
penghasilan pada perubahan fisik rumah perumahan KPR.”
“Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja dan
seberapa besar pengaruh masing-masing faktor pad persepsi terhadap desain
rumah sub–inti.”
8— Perumusan permasalahan
(2) Bentuk satu pertanyaan atau pernyataan umum disusul oleh beberapa pertanyaan atau
pernyataan yang spesifik (Catatan: kebanyakan permasalahan terlalu besar atau
kompleks sehingga perlu dirinci)
Misal:
Permasalahan umum: Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi hasil desain seorang
arsitek dan seberapa pengaruh tiap-tiap faktor? Lebih spesifik lagi, permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
(a) Apakah sekian faktor yang mempengaruhi hasil desain seorang arsitek secara
umum di Amerika Serikat terjadi pula di Indonesia?
(b) Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi hasil desain
arstiek di Indonesia?
Karakteristik Rincian Permasalahan
Karakteristik tiap rincian permasalahan atau sub-problema (menurut Leedy, 1997:
56-57) sebagai berikut:
1) Setiap rincian permasalahan haruslah merupakan satuan yang dapat diteliti (a
researchable unit ).
2) Setiap rincian terkait dengan interpretasi data.
3) Semua rincian permasalahan perlu terintegrasi menjadi satu kesatuan permasalahan
yang lebih besar (sistemik).
4) Rincian yang penting saja yang diteliti (tidak perlu semua rincian permasalahan diteliti)
5) Hindari rincian permasalahan yang pengatasannya tidak realistik.
Contoh Rumusan Permasalahan
Di bawah ini diberikan beberapa contoh rumusan masalah, sebagai berikut:
“. . . . . . . permasalahan sebagai berikut: Apakah kalsium hidroksida
mempunyai pengaruh sitotoksik terhadap sel fibroblast embrio Gallus
domesticus secara in Vitro, dan apakah besar konsentrasi kalsium
hidroksida berpengaruh terhadap sifat sitotoksisitasnya?”
Sumber: Sri Hadiati Prayitno dan Wahjono Sosromidjojo, 1988, “Tes
Sitotoksitas Bahan Kalsium Hidrosida dengan menggunakan Kultur sel
Fibroblast Embrio Ayam Kampung (Gallus Domesticus) in vitro”, Berkala
Penelitian Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Jilid I, Nomor 1,
halaman 34.
“. . . . . . . . . dengan penelitian ini ingin diketahui faktor – faktor apa yang
dapat mempengaruhi perilaku ibu – ibu dalam menangani diare pada bayi dan
anak balita.
Perumusan permasalahan—9
Sumber: Sitti Aisyah Salam dan Akhwak Watik Pratiknya, 1988,”Faktorfaktor
yang mempengaruhi Perilaku ibu dalam menangani Penyakit Diare
anak Balita di Kecamatan Wirobraian”, Berkala penelitian Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada, Jilid 1, Nomor 1, halaman 2.
Keterkaitan antara Rumusan Permasalahan dengan Hipotesis
dan Temuan Penelitian
Bila penelitian telah selesai dilakukan, maka dalam laporan penelitian perlu
ditunjukkan “benang merah” (keterkaitan yang jelas) antara rumusan permasalahan dengan
hipotesis (sebagai “jawaban” sementara terhadap permasalahan penelitian). Rincian dalam
permasalahan perlu berkaitan lengasung dengan rincian dalam hipotesis, dalam arti, suatu
rincian dalam hipotesis menjawab suatu rincian dalam permasalahan. Demikian pula, perlu
diperlihatkan keterkaitan tiap rincian dalam temuan (sebagai jawaban nyata terhadap
permasalahan) dengan tiap rincian dalam rumusan permasalahan.
Baik permasalahan, hipotesis dan temuan—sebagai upaya pengembangan atau
pengujian teori—berkaitan secara substantif dengan tinjauan pustaka (sebagai kajian
terhadap isi khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian).
Kaitan substantif diartikan sebagai hubungan “isi”, tidak perlu dalam bentuk keterkaitan
antar rincian.